https://www.reqnews.com/

Monday, 03 June 2019 - 15:00

Kisah Raja 'Pengadil' di Masa Kerajaan Majapahit

Raja-raja Majapahit (Foto: istimewa)

JAKARTA, REQnews - Raja-raja Wilwatikta dikenal sebagai pengadil yang tak pernah memihak dan menaati semua aturan dalam kitab agama. Ia pun dikenal sebagai raja yang adil untuk semua orang.

Salah satunya Raja Hayam Wuruk, yang dikenal sebagai pengadil yang adil bagi semua rakyatnya.  Kisah Wilwatikta tersebut dicatat dalam karya Mpu Prapanca, Kakawin Nagarakrtagama. "Perbuatan baik diupayakan untuk mengetahui masa yang akan datang dan datang, semoga dia penjelmaan dewa," tulis Mpu Prapanca.

Dalam buku itu juga diterjemahkan, dinyanyikan prabu diangkat keponakan Hayam Wuruk, Wikramawardana, sebagai wakil raja dalam menjalankan pengadilan. Istilah dalam bahasa Jawa Kuno adalah paningkah cri narendradhipa.

Sri Kertawardana, ayah Raja Hayam Wuruk, juga punya fungsi pengadilan. Kertawardana disebut mahir menerapkan hukum perdata. “Demikianlah pembagian tugas antara Kertawardana dan Wikramawardana di dalam pengadilan atas nama raja,” kata Slamet Muljana dalam buku Menuju Puncak Kemegahan .

Arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menyebutkan bahwa selama masa Budha Hindu, khususnya di Jawa, jumlah dan susunan pejabat kehakiman tak selalu sama. Semisal saat Mataram Kuno hanya ada dua pejabat kehakiman, yaitu samgat i tiruan dan samgat i manghuri.

Hal tersebut tertulis dalam prasasti Mataram Kuno, di mana Pejabat Yang berurusan dengan Pengadilan disebut sebagai bernyanyi pamgat, atau disingkat sa m gat bisa juga samget.

Sementara untuk keputusan pengadilan, dapat berisi pengadilan (hukum yang berkaitan dengan kajahatan) dan perdata (hukum yang berkaitan dengan perdagangan, jual beli, dan lainnya).

Berbeda dengan masa Mataram Kuno, masa Kadiri hingga Majapahit memiliki pejabat hukum yang dibagi atas dua kelompok. Pertama, dharmmadhyaksa cincin kasaiwan (pemimpin agama / ketua pengadilan dari golongan agama Siwa) dan dharmmadhyaksa cincin kasogatan (pemimpin agama / ketua pengadilan dari golongan agama Buddha).

Kedua, kelompok dharma upapatti (pejabat kehakiman) yang diundang tidak tentu saja dalam suatu prasasti. Sedangkan sembilan orang, yaitu samgat aku tiruan, samgat aku kandamuhi, samgat aku manghrui, samgat aku jamba, samgat aku panjang jiwa, samgat aku pamwatan, samgat aku tigangrat, samgat aku kandangan atuha, samgat aku kandangan rarai.

Artinya, jumlah yang diminta bertanggung jawab di bidang hukum pada masa ini semakin banyak. Semua informasi ini disajikan dalam Prasasti Sukamrta (1218 saka / 1296 M) dan Prasasti Adan-adan (1223 saka / 1301 M).

"Setiap wilayah kerajaan yang terdiri dari pusat dan daerah punya administrasi masing-masing," tulis Titi.

Khusus pada masa Majapahit, pejabat kehakiman disebut sang pragwiwakawyawaharanyayanyayawicchedaka. Dia berfungsi menilai yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam persengketakan.

Ada pula sebutan menyanyikan dharmmadhikaraanyyanyawyawaharawicchedeka, atau pemimpin agama yang dapat memutuskan persengketaan antara pihak yang benar dan salah). Ini tertera dalam Prasasti Tuhañaru (1245 Saka / 1323 M).

Sementara dalam Prasasti Cangu (1280 Saka / 1258 M) dan Prasasti Sakar, pejabat kehakiman disebut sang dharmmaprawaktawyawaharacchedaka. Terkait juru bicara dalam bidang agama atau hukum yang dapat memutuskan persengketakan.

Jika melihat Prasasti Bendosari (1360 M) dan Parung dari masa Majapahit, para pejabat kehakiman harus mempertimbangkan sebelum memutuskan perkara perkara di pengadilan. Buku- buku hukum kitab suci yang berasal dari India, peraturan daerah, hukum adat, pendapat para sesepuh, kitab-kitab hukum, seperti yang selalu dilakukan oleh para hakim sejak dulu kala.

“Prasasti Parung memberikan petunjuk tentang landasan hukum yang ada. Itu sumpah kepada dewa atau tokoh yang diperdewakan," kata Titi. (RYN)

Redaktur : Safwan Hadi Rachman