JAKARTA, REQnews - Di era reformasi ini, pemerintah baik pusat maupun daerah sering meminta bantuan tenaga dari militer. Keterlibatan militer dalam berbagai operasi militer selain perang (OMSP) dipandang melewati batas yang semestinya.
Hal ini disampaikan oleh Al Araf, Direktur Imparsial saat meluncurkan hasil riset mereka yang dilakukan selama 4 tahun di Jakarta, Senin 23 Desember 2019. Penelitian ini diberi judul &ldquo;Peran Internal Militer: Problem Tugas Perbantuan TNI.&rdquo;
Menurut dia, pengalaman Indonesia yang selama Orde Baru melihat pelibatan militer yang besar hingga aspek politik membuat salah satu amanat reformasi yang paling penting ialah penghapusan dwi fungsi angkatan bersenjata. Namun dalam penelitiannya, Imparsial menemukan bahwa TNI memiliki setidaknya 41 MoU (memo of understanding - perjanjian) dengan berbagai institusi sipil seperti lembaga dan kementerian.
Imparsial mencatat bahwa pelibatan militer kadang masuk terlalu jauh ke area penegakan hukum. Pelibatan militer juga kerap menyebabkan ketidak disiplinan penggunaan anggaran.
Kerja sama TNI dengan Pemda kerap membuat TNI menggunakan anggaran daerah, padahal, menurut undang-undang, kerja TNI haruslah didanai menggunakan APBN.
Hal ini diamini oleh M. Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM, yang berpendapat bahwa aturan mengenai tentang perbantuan militer ini tercecer di berbagai regulasi padahal status hukum adalah sebuah hal yang amat penting.
Choirul Anam mengatakan bahwa seorang prajurit yang diperbantukan ke institusi sipil masih tetap bertanggung jawab pada struktur internal TNI, sebuah hal yang tentu membingungkan dalam skema komando. Kata dia, hal ini akan merumitkan pertanggungjawaban apabila muncul masalah.
Choirul merujuk ke Papua sebagai contoh kebingungan ini. Di Papua dari 1998 sampai saat ini, menurutnya, tak ada operasi militer resmi. Yang ada hanyalah operasi perbantuan saja.
Namun, Choirul Anam menyatakan bahwa yang terjadi di Papua tidak seperti operasi perbantuan karena operasi perbantuan semestinya bersifat sementara. Ia juga mencatat aspek relasi superior inferior dalam operasi perbantuan sebagai salah satu hal yang harus diatasi.
Lagi-lagi mencontohkan Papua, Choirul mengatakan meski anggota militer hanya sebagai perbantuan pada operasi polisi, namun Kepolisian tak punya komando atas operasi.
TNI Hanya Bertempur
Sementara Farah Putri Nahlia, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, menyatakan bahwa TNI seharusnya difungsikan hanya untuk bertempur. Namun jika polisi minta bantuan pada militer atau sebaliknya, hal itu harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, tolak ukur tentang kapan OMSP bisa dilakukan harus ada di dalam undang-undang.&nbsp;
Menurut Farah, OMSP hanya bisa dilakukan sebagai sebuah keputusan politik negara sehingga harus dikonsultasikan ke DPR. Di acara diskusi dan peluncuran riset tersebut, Farah juga menyatakan bahwa RUU Perbantuan Militer telah masuk ke Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2020-2024.
Letjen Purn. Agus Widjojo, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), pun menyepakati pentingnya kontrol baik dari parlemen maupun masyarakat sipil. Beliau menilai bahwa publik perlu memahami bahwa hal-hal ini adalah pelanggaran.
Menurut Agus Widjojo, kunci OMSP adalah hal ini adalah keputusan politik Pemerintah sehingga wajib dideklarasikan agar publik dan Parlemen tahu. Keputusan ini harus diambil secara transparan.
Hal ini juga baik untuk TNI karena melegitimasi kewenangan TNI di lapangan. Beliau kemudian mencontohkan Australia di mana OMSP bisa dilakukan ketika ditandatangani setidak-tidaknya 3 menteri.
Dr. phil Shiskha Prabawaningtyas, selaku Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, mempertanyakan, &ldquo;Jika kita sudah mengetahui bahwa kita memerlukan UU Perbantuan Militer ini, namun mengapa pemerintahan sipil tidak memulainya? Mungkin masalahnya bukan di militer, namun di pemerintahan sipil yang tidak mau mengeksekusi wewenangnya.&rdquo; Shiskha menduga bahwa kekuasaan sipil mungkin terus &ldquo;tergoda&rdquo; untuk tetap bekerjasama dengan militer dalam skema OMSP ini karena ada kompetensi-kompetensi kerja dari militer yang dapat diandalkan, misalnya soal kecepatan dan efektivitas.

Mendesak: Legislasi RUU Perbantuan Militer!

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi