JAKARTA, REQNews - 4 April 2019, peristiwa pelanggaran HAM Berat Wamena Berdarah sudah diperingati untuk ke-16 kalinya. Artinya, mencerminkan bahwa selama ini negara telah gagal dalam menuntaskan kasus Wamena dan gagal untuk memberikan keadilan, dalam bentuk kepastian hukum maupun pemenuhan hak-hak korban dan keluarga korban.&nbsp; Dalam siaran pers KontraS Kamis (4/4/2019), mengungkapkan kondisi ini meninggalkan luka traumatis yang mendalam pada diri korban dan semakin mempertebal rasa ketidakpercayaan korban terhadap pemerintah.&nbsp; Perlu diingat kembali bahwa peristiwa Wamena berawal ketika masyarakat sipil Papua, dikejutkan dengan penyisiran terhadap 25 kampung dan desa. Penyisiran dilakukan akibat dari sekelompok massa tak dikenal yang membobol gudang senjata Markas Kodim I 1702/Wamena dan menewaskan dua anggota Kodim. Selama penyisiran berlangsung, terjadi berbagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga 104 masyarakat sipil menjadi korban.&nbsp; Selama 16 tahun berlalu, kasus Wamena masih menyimpan tanya. Pemerintah menghadirkan berbagai komitmen, seperti dalam Nawa Cita dan bahkan dalam Sidang United Nations 3rd Cycle Universal Periodic Review (Sidang UPR) di Jenewa pada 3 Mei 2017, Pemerintah menyampaikan akan melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Papua dengan segera mempersiapkan pengadilan HAM dalam lingkup Pengadilan Negeri Makassar untuk kasus Wasior-Wamena. Namun, hingga saat ini kasus Wamena tidak juga menemukan jawaban, justru terkesan omong kosong karena tidak ada proses hukum sebagaimana yang dijanjikan Pemerintahan Joko Widodo.&nbsp; Keadaan diperparah dengan terjadinya bolak-balik berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Kejaksaan Agung kerap kali menggunakan alasan-alasan formalis-normatik dan tanpa suatu kebaruan petunjuk. Tarik-ulur berkas penyelidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung menjadi “drama” yang disayangkan, mengingat dua lembaga ini termasuk “tokoh utama” dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.&nbsp; "Entah akan berapa kali lagi kita memperingati kasus Wamena. Seharusnya, bukan sesuatu yang utopis bagi pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini secara berkeadilan. Kunci persoalan ini hanya kesanggupan (able) dan kemauan (willingness) dari pemerintahan Joko Widodo," bunyi siaran pers tersebut.&nbsp; Lemahnya kemauan politik Pemerintahan Joko Widodo terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat menjadi kekhawatiran bagi korban dan keluarga korban, karena kasus-kasus tersebut berpotensi akan di “peti es” kan kembali, mengingat Jokowi kembali maju sebagai calon presiden. Di sisi lain, calon presiden Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM untuk kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998, tidak akan mungkin menyelesaikan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat yang selama ini masih menggantung.&nbsp; Dengan demikian, KontraS menilai bahwa Pemerintah harus mengambil langkah konkrit sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum, rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat di Wamena. Hal ini sejalan dengan amanat dari UUD 1945 pasal 28D Ayat (1) yang menyatakan; “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Oleh karena itu, KontraS mendesak;&nbsp; Pertama, Presiden Joko Widodo melaksanakan komitmennya sebagaimana disampaikan dalam Nawa Cita dan Sidang UPR sebagai bentuk tanggung jawab politik dan hukum. Langkah kronkritnya dapat berupa mendorong percepatan pembentukan Pengadilan HAM yang diimbangi dengan prosedur hukum yang adil (fair trial).&nbsp; Kedua, Presiden Joko Widodo merespon dan menindak secara tegas tarik-ulur berkas penyelidikan pelanggaran HAM Berat antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.&nbsp; Ketiga, Kejaksaan Agung RI dan Komnas HAM secara bersama-sama membentuk Tim Ad Hoc penanganan kasus Wamena dan Wasior yang bertugas melengkapi bukti-bukti&nbsp; Keempat, LPSK lebih bersikap proaktif dengan turun langsung ke kantong-kantong komunitas korban untuk memberikan bantuan medis, psikologis dan psikososial sebagai hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Berat. (nls)

16 Tahun Kasus Wamena: Janji Jokowi yang Dilupakan

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi