JEPANG, REQNews - Saat ini istilah "<a href="https://www.reqnews.com/news/10402/data-ma-homoseks-jadi-dalang-maraknya-perceraian-di-indonesia-setiap-tahun" title="Data MA: Homoseks Jadi Dalang Maraknya Perceraian di Indonesia Setiap Tahun">perceraian</a> corona" tengah populer di Jepang seiring dengan pandemi Virus Corona (COVID-19) yang memaksa orang-orang untuk tinggal di rumah bersama pasangan mereka. Para wanita mengakui bahwa situasi tinggal bersama pasangan membuat mereka tidak tahan.
Apa yang terjadi saat ini mirip dengan fenomena tahun 1980-an, di mana istilah "perceraian Narita" populer. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan pasangan yang baru menikah kembali ke Bandara Narita Tokyo setelah bulan madu dan memutuskan untuk berpisah karena mereka menyadari bahwa mereka tidak memiliki kesamaan.
Fenomena memburuknya hubungan antara pasangan selama lockdown juga terjadi di belahan dunia lain. Namun, istilah "perceraian corona" sendiri beresonansi di Jepang.
Sekitar 35 persen pernikahan di Jepang berakhir dengan perceraian. Angka itu lebih rendah dari Amerika Serikat yakni 45 persen dan Inggris 41 persen. Angka perceraian di Jepang sendiri diprediksi meningkat dalam waktu dekat.
Tak sedikit wanita yang membagikan keluhan mereka di media sosial.
"Suami saya bersuara keras. Terdengar sekali saat dia batuk dan makan. Televisi menyala keras sepanjang hari. Suami saya mendengkur saat ia berbaring di tengah ruang tamu. Saya sudah tahan dengan ini selama 10 hari. Berapa hari lagi akan berlangsung? Akankah semangat saya bertahan?" tulis seorang istri di Twitter, dilansir dari laman SCMP, Rabu, 29 April 2020.
Tweet dari istri lainnya berbunyi, &ldquo;Suami saya minum, dia mondar-mandir, dia tidak mencuci tangannya dan tidak tahu harus berbuat apa di dapur. Ketidaksejajaran antara suami dan istri ini biasanya berhasil dengan sendirinya - tetapi bagi saya, ini adalah kesempatan untuk secara serius memikirkan masa depan saya."
Ada pula yang membagikan cerita sedih di mana ia mengaku hanya dianggap sedikit lebih tinggi dari pembantu rumah tangga oleh suaminya.
Yang lain, dengan menggunakan tagar yang tidak menyenangkan "Catatan kematian suami", bertanya secara retoris: "Apakah lebih mudah untuk bercerai? Apakah itu akan menyegarkan saya? Saya ingin melepaskan diri dari semua kekhawatiran saya. Saya ingin menemukan kembali diri saya. Gelap setiap hari. Aku muak melihatmu. Saya selalu khawatir. Aku hanya menghela nafas. &rdquo;
Chie Goto, seorang pengacara perceraian yang berbasis di Nishinomiya, dalam sebuah unggahan blog mengatakan bahwa pasangan menghadapi situasi yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Perubahan situasi yang dimaksud adalah di mana suami yang bekerja dari rumah atau kehilangan pekerjaan, anak-anak pulang dari sekolah dan pihak berwenang merekomendasikan agar setiap orang tinggal di rumah sebanyak mungkin, bahkan di akhir pekan.
&ldquo;Rumah telah menjadi tempat kerja dan itu adalah penyebab utama masalah. Orang-orang merasa stres ketika lingkungan mereka berubah dan itu dapat menyebabkan celah besar muncul dalam pernikahan," tulis Goto.
Dalam tulisannya, Goto memberikan sejumlah solusi atas masalah ini, tetapi menurutnya yang terpenting adalah mendiskusikan semuanya secara terbuka dan bertukar pendapat. Saran lain termasuk memasak makanan bersama, berbagi tugas di sekitar rumah, dan menetapkan peraturan tentang mencuci tangan, dan tindakan lain untuk menghentikan keluarga yang terjangkit virus.
&nbsp;

Kasus Cerai Meningkat, Wanita Tak Tahan Bersama Pasangan Saat Lockdown

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi