JAKARTA, REQnews -&nbsp;Berdasarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/2875/2020 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan (<a href="https://www.reqnews.com/search?q=kemenkes">Kemenkes</a>), pemerintah menetapkan batas tarif tertinggi yang harus dibayarkan dalam pemeriksaan rapid test antibodi yakni Rp 150 ribu. Bila ada pihak rumah sakit yang melanggar, seperti apa sanksinya?
Hal inilah yang dipertanyakan Ombudsman RI kepada Kemenkes, yang belum menjelaskan soal sanksi atas pelanggaran tersebut, apakah lewat lisan, denda, atau pembekuan izin.
"Di dalam SE biaya rapid test yang dibuat Kemenkes tidak tercantum sanksinya jika ada yang melanggar. Harusnya ada dong, seperti teguran tertulis, lisan hingga denda," kata anggota Ombudsman RI Alvin Lie, Kamis 9 Juli 2020.
Dengan tidak tercantumnya sanksi, hal ini bisa menimbulkan kebingungan dan dilema bagi masyarakat. Alvin menegaskan, Kemenkes ketika membuat aturan, seharusnya berbarengan dengan sanksi yang mengikat.
Ia mencontohkan hari ini di salah satu rumah sakit di Gorontalo, Sulawesi Utara menyesuaikan harga rapid test sesuai SE Kemenkes. Namun, biaya tersebut akan bertambah jika minta surat keterangan atau hasil tertulis.
"Jadi hanya rapid test saja Rp 150 ribu. Kalau minta surat keterangan atau hasil tertulis jadi Rp 243 ribu. Nah, ini bagaimana nih?" ujarnya.
Aturan tarif rapid test dibuat karena pemerintah ingin menetapkan tarif maksimal bagi masyarakat yang ingin melakukan rapid test lantaran tarif saat ini masih bervariasi. Aturan diharap juga menghindari praktik komersialisasi rapid test.

Batas Tarif Rapid Test Rp 150 Ribu, Bila Melanggar Apa Sanksinya?

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi