JAKARTA, REQNews – Presiden Joko Widodo harus menegur Jaksa Agung Prasetyo. Ini salah satu tuntutan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), yang tampaknya, sebagai tanggapan terhadap ucapan Jaksa Agung Prasetyo di Gedung DPR, 23 Desember 2018. Pada kesempatan itu, sebagaimana tercantum dalam salah satu artikel berita di TEMPO.CO, Prasetyo mengatakan, “Saya usulkan kalau mungkin ya lakukan razia besar-besaran saja.”Menurut PSHK, pernyataan itu tidak mencerminkan peran seorang Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia sebagai institusi penegak hukum. Tuntutan kedua, Presiden harus menyatakan bahwa penyitaan terhadap buku secara sewenang-wenang tanpa proses hukum adalah
tindakan melanggar hukum, dan harus dihentikan.Hal ini harus ditindaklanjuti dengan, tuntutan ketiga, yaitu segera lakukan tiga hal. Pertama, bentuk PP pelaksanaan Undang-Undang Sistem Perbukuan. Kedua, minimalkan peran Kejaksaan dalam
pelaksanaan pengawasan. Ketiga, perkuat peran organisasi profesi terkait dengan pengawasan
perbukuan, sehingga dapat terwujud ekosistem perbukuan yang kuat. Dalam siaran persnya hari ini, PSHK menjelaskan legalitas kewenangan penyitaan buku oleh Kejaksaan sudah berakhir setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 menyatakan UU No. 4 Tahun 1963 itu inkonstitusional. Tindakan tindakan penyitaan terhadap buku seharusnya merupakan
perintah dari putusan pengadilan, bukan sekadar hasil pengawasan Kejaksaan, demikian isi putusan MK tersebut. PSHK berpendapat, setidaknya ada 3 hal yang kerap mendasari pengawasan dan berujung pada penyitaan buku oleh Kejaksaan. Pertama, pasal 30 ayat 3 huruf (c) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyatakan bahwa Kejaksaan melaksanakan
kegiatan dalam pengawasan peredaran barang cetakan. 
Kedua, pasal 2 Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966
tentang larangan terhadap kegiatan menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Ketiga, penggunaan segala macam
aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran Komunisme.
Dua ketentuan di atas, kemudian diperkuat Pasal 107a UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan KUHP yang mencantumkan adanya sanksi pidana penjara paling lama 12 tahun bagi
mereka yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dalam berbagai bentuk dan
perwujudan.Penegakan ketentuan dalam pasal-pasal itu tidak dapat sembarangan, seperti merazia buku secara masif, melainkan harus memperhatikan kepada aspek hukum acara, atau prosedur yang berlaku. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kesewenang-wenangan dari aparat penegak hukum, termasuk Kejaksaan. (Prazz)

PSHK: Presiden Joko Widodo Harus Tegur Jaksa Agung Prasetyo!

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi