Yangon, REQNews.com -- Dua hari setelah pembukaan pendaftaran sekolah, sekitar 90 persen sisa dari semua tingkatan menolak daftar ulang untuk mengikuti sistem pendidikan Myanmar di bawah rejim militer.
Federasi Guru Myanmar (MTF) mengatakan hanya 10 persen siswa dari seluruh negeri yang daftar ulang di sekolah masing-masing. Belum ada keputusan apakah rezim junta militer akan memperpanjang masa pendaftaran ulang.
Penerimaan siswa baru dan pendaftaran ulang dibuka sejak Senin pekan ini. Tidak diketahui berapa siswa yang baru mendaftar.
Menurut Kementerian Pendidikan pemerintahan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang digulingkan, Myanmar memiliki sembilan juta siswa terdaftar pada tahun ajaran 209/2020.
Saat ini kurang dari satu juta siswa yang daftar ulang dengan sekolah mereka. Rencananya, tahun ajaran baru akan dimulai 1 Juni.
Penduduk Myanmar di sekujur negeri memprotes pembukaan kembali sekolah. Di negara-negara bagian yang melakukan perlawanan, gerbang dan pagar sekolah bertulis pesan anti-kudeta.
Orang tua mengatakan tidak ingin anak-anak mereka diindoktrinasi militer, dan menjadi budak rezim.
Di Kyike Htaw, Kotapraja Kawhmu Yangon, sekitar 30 polisi dan tentara menjada satu-satunya sekolah menengah selama proses daftar ulang. Penduduk mengatakan tentara mengawal guru ke sekolah.
Sore hari, administratur lingkungan yang ditunjuk militer dan anggota Partai Persatuan dan Pembangunan yang didukung militer mengambil alih tugas polisi dan tentara.
Sumber yang dekat dengan pengurus sekolah mengatakan hanya 12 siswa yang mendaftar ulang dalam dua hari. Di Monywa, Mandalay, dan Yangon, ada sekolah yang tidak didatangai siswa untuk daftar ulang.
Namun, surat kabar yang dikelola pemerintah menerbitkan foto kerumunan orang-orang yang melakukan daftar ulang. Netizen berteriak; "Hah.....Itu foto tahun 2019." Myanmar Now tidak bisa memverifikasi klain ini secara independen.
 Mengancam Kita
Seorang guru dan anggota MTF yang mogok dan bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) mengatakan ini bukan waktu yang tepat untuk kembali ke sekolah.
"Jika sekolah dibuka sekarang, kami tidak akan dapat mengajarkan apa pun," katanya. "Anak-anak tidak akan merasa aman. Pendidikan bukan hanya tentang mengajarkan informasi, tapi tentang mengembalikan kemanusiaan. Itu harus terjadi di lingkungan yang hangat dan aman."
Lebih setengah dari 400 ribu guru di Myanmar berpartisipasi dalam CDM. Lebih 130 ribu guru yang mogok secara resmi diberhentikan. Setelah itu rejim militer membuka lowongan untuk posisi guru di surat kabar yang dikendalikan. Iklan itu muncul saat pembukaan sekolah semakin dekat.
"Bahkan sebelum kudeta, tidak ada cukup guru untuk memenuhi kebutuhan jumlah siswa," kata guru anggota MTF. "Memberhentikan guru dan menuntut mereka akan menciptakan tantangan operasional yang lebih besar dari rezim."
Lebih 100 guru yang mogok didakwa menghasut dan melanggar Pasal 505a KUHP, kata seorang anggota MTF. Mereka terancam hukuman tiga tahun.
Soe Thura Kyaw, seorang guru dari Kotapraja Taikkyi Yangon, termasuk di antara mereka yang didakwa melanggar Pasal 505a karena memimpin protes di Yangon dan bergabung dengan CDM. Menurutnya, junta telah menawarkannya kembali bekerja dengan imbalan tuntutan dicabut.
"Mereka takut menghadapi perlawanan. Mereka mencoba mengancam kami agar mengajar lagi," kata Soe Thura Kyaw. "Saya berkomitmen mogok untuk menjatuhkan kediktatoran militer."
Di Desa Kyike Htaw, wilayah Yangon, seorang pria berusia 28 tahun mengatakan adik laki-lakinya yang akan amsuk kelas lima menolak bersekolah lagi.
Keluarga mereka kini menunggu Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang anti-udeta merilis program pendidikan interim. Pada saat proses daftar ulang, NUG mengumumkan rencana mengajar anak-anak secara online.

90 Persen Siswa Myanmar Menolak Bersekolah di Bawah Rezim Militer

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi