JAKARTA, REQnews - Pengamat Intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati mengatakan ada empat ciri-ciri orang yang terpapar paham radikalisme. Ia mengatakan bahwa pertama yaitu adanya kebutuhan untuk menjadi seseorang yang dihargai oleh orang lain, karena posisinya selama ini tidak mendapat tempat atau alienasi dari masyarakat.
"Ini adalah orang-orang yang kehilangan "moral compass" yang dapat terjadi pada seseorang dengan berbagai macam latar belakang," ujar pengamat yang juga Ketua DPP Partai Perindo bidang Hankam dan Keamanan Siber dalam diskusi yang bertema "Meningkatkan Partisipasi, Terorisme Dapat Ditanggulangi," Selasa 31 Agustus 2021.
Kedua, kata dia, adanya narasi-narasi yang membenarkan alienasi pada dirinya khususnya yang berbasis ideologi agama/politik untuk menguatkan tindakan kekerasan kepada pihak-pihak yang dianggap mengakibatkan proses alienasi tersebut.
"Ketiga, adanya jaringan sosial yang memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya yang secara gradual menguatkan dan membenarkan narasi-narasi tersebut," kata dia.
Kemudian, yang keempat adanya enabling environment atau kondisi yang memungkinkan bagi jaringan untuk narasi dan ideologi tersebut berkembang. "Enabling environment tidak harus langsung bersentuhan dengan jaringan namun memberi sinyal bahwa jaringan ini aman dan eksis," lanjutnya.
Untuk itu proses deradikalisasi harus menargetkan ke empat unsur di atas. Khususnya menghilangkan enabling environment membatas atau menghancurkan jaringan yang berfungsi sebagai wadah berkumpulnya orang-orang yang kehilangan "moral compass" dan secara gradual memilih jalan kekerasan yang menurut dia dibenarkan oleh ideologi yang dianut.
"Dalam konteks Indonesia menghilangkan enabling environment itu adalah tugas berat bagi Presiden Joko Widodo karena dapat saja orang di sekelilingnya justru menciptakan enabling environment tersebut," kata perempuan yang akrab disapa Nuning.
Kemudian, berdasarkan temuan-temuan di atas, Nuning memaparkan rekomendasi dalam menutup ruang terorisme. Seperti, pemerintah perlu segera merancang agenda optimalisasi pencegahan radikalisme di institusi pendidikan baik formal, maupun nonformal, dan informal dengan muatan pendidikan yang bhineka, terbuka, dan toleran serta berorientasi pada penguatan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
"BNPT &amp; Kemendikbud perlu menjadi aktor utama dalam pencegahan arus intoleransi dan radikalisasi di institusi pendidikan organisasi masyarakat dan khususnya perempuan Indonesia. Jangan hanya berfokus pada penanggulangan, dalam konsepsi pemberantasan kedua hal tersebut harus kuat," ujarnya.
Selanjutnya, stakeholder lainnya khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak perlu meningkatkan upaya upaya internalisasi terhadap keadilan dan kesetaraan gender kepada kaum perempuan melalui institusi kementerian/lembaga/badan pemerintahan daerah organisasi keagamaan dan komunitas komunitas sosial kemasyarakatan.
"Civil Society, khususnya organisasi keagamaan moderat seperti NU, Muhammadiyah dll, perlu memperbanyak narasi positif dan melakukan counter narasi radikalisme yang menyasar institusi pendidikan, anak muda dan perempuan melalui berbagai medium untuk menutup ruang narasi intoleransi dan radikalisme," kata dia.
Menurutnya, pembatasan di media sosial bukanlah hal yang efektif dalam menangkal narasi radikalisme. "Yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan literasi di media sosial pada masyarakat Indonesia, bukan hanya sekedar baca tulis, namun mampu bernalar untuk merespon propaganda radikalisme," tutupnya.

Pengamat Intelijen Ungkap 4 Ciri-ciri Orang Terpapar Radikalisme, Begini Cara Mencegahnya

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi