JAKARTA, REQnews -&nbsp;Pengamat Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menyebut jika kasus&nbsp;seorang istri bernama Valencya di Karawang yang dituntut 1 tahun penjara karena memarahi suami yang mabuk tak perlu diambil alih oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Seharusnya memang tidak perlu mengambil alih, jika akhirnya harus dituntut bebas/lepas sebaiknya jaksa agung dapat memerintahkan Kejasaan Negeri. Bentuk Kejaksaaan yang koordinatif, membuat tidak perlu adanya pengambilalihan," ujar Akbar kepada REQnews.com pada Rabu 17 November 2021.
Menurutnya, dalam pemeriksaan kasus tersebut&nbsp;tidak melihat tujuan dari KDRT dan Perma 3/2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum. "Di mana jika perempuan menjadi tersangka atau terdakwa harus menggunakan perspektif gender," katanya.
Untuk itu, Akbar mengatakan jika betul-betul marah karena suami mabuk, harusnya perkara tidak P21 dan diteruskan. "Seharusnya kasus itu buka masalah pidana," ujarnya.
Ia menyebut bahwa kasus tersebut bukan hanya masalah Kejaksaan, namun penyidikan di kepolisian pun dipertanyakan. "Sejak awal mengapa penyidik menyatakan ini pidana dan melakukan penyidikan?" tanya Akbar.
Akbar berpendapat jika kasus tersebut tidak viral maka akan berlanjut. "Kemudian ketika penuntut umum menyatakan P21 perkara memang ternyata ada permasalahan. Jika tidak viral mungkin akan lanjut saja," katanya.
Dengan adanya kasus tersebut menandai adanya dugaa masalah di institusi Kejaksaan pada level bawah dari Kejari hingga Kejati. "Memang ada perbaikan yang dibutuhkan untuk Kejaksaan secara keseluruhan," kata Akbar.
Sementara Pakat Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad mengatakan bahwa kasus tersebut seharusnya diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Yaitu dengan mendorong adanya perdamaian antara kedua belah pihak yang berselisih.
Ia menyebut jika pada dasarnya kasus tersebut&nbsp;dapat diselesaikan di Kejaksaan Negeri, namun Kejaksaan sebagai satu kesatuan maka Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Agung dapat menangani kasus tersebut.
"Kejagung dapat mengambil alih kasus tersebut karena jadi perhatian publik dan supaya dapat menyelesaikan perkara tersebut sesuai nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan," kata Suparji.
Menurutnya, perkara tersebut bisa dijadikan momen untuk meningkatkan koordinasi&nbsp;dan supervisi di jajaran Kejaksaan. Selain itu juga referensi efektivitas criminal justice system.
&nbsp;
"Tetap adanya kecenderungan pendekatan positivistik atau aspek kepastian hukum. Penegakan hukum condong sesuai hukum positif dan cenderung mengabaikan nilai keadilan maupun kemanfaatan," ujarnya.

Pakar Sebut Kasus Istri Marahi Suami Tak Perlu Diambil Alih Kejagung, Ini Alasannya

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi