JAKARTA, REQnews - Pakar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad mengatakan bahwa dari budaya hukum masyarakat memang sangat minim tingkat kepedulian terhadap hewan, bahkah bisa dikatakan tidak ada kepedulian terhadap hewan.
Suparji pun mengapresiasi langkah sejumlah pemerhati hewan yang memiliki komitmen dan kemauan dalam memperjuangkan hak-hak hewan. "Ada orang yang mengeksploitasi kucing harus dilawan dan sebagainya, saat rasa itu harus dibentuk yang nyata," kata Suparji dalam webinar dengan tema 'Gagapnya Sang Penegak Hukum Saat Ada Kasus Penganiayaan Hewan' pada Sabtu 11 Desember 2021.
Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah&nbsp;budaya hukum kepedulian terhadap hewan sangat minim. "Bagaimana kita di masyarakat menyaksikan dengan nyata, sangat anti, jengkel dengan perilaku-perilaku hewan. Itulah budaya hukum yang terjadi bahwa kepedulian terhadap hewan masih sangat lemah," katanya.
Dalam&nbsp;prespektif substansi, Suparji mengatakan memang ada persoalan regulasi di Indonesia yang masih sangat lemah dan ringan dalam memberikan sanksi kepada para pelanggar, kepada pihak-pihak yang melakukan penganiayaan hewan.
Ia menyebut hal itu karena&nbsp;tidak mudahnya proses pembuktian dalam konteks terjadinya penganiayaan hewan. Seperti misalnya siapa korbannya, siapa yang mengalami kerugian dan sebagainya. Maka dari sisi hukum formil maupun materil, kata dia, ada persoalan dalam regulasi yang memberikan perlindungan hewan.
"Dari sisi aparatur saya kira tidak sepenuhnya gagap, tetapi lebih terjadi pada faktor bagaimana persoalan pembuktiannya. Kasus-kasus yang semakin banyak terjadi di publik, yang menimbulkan polemik di masyarakat seperti kasus Pak Minto dan sebagainya, tentu adalah menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum ketika akan melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan," lanjutnya.
Lebih lanjut, ketika misalnya progresivitas yang belum sesuai dengan ekspektasi, semata-mata dipengaruhi ada faktor pembuktian. Menurutnya pada aspek budaya hukum, subtansi hukum, aparat hukum memang ada kontribusi belum optimalnya perlindungan hewan, pemberantasan penganiayaan hewan.
"Saya setuju, mestinya dalam proses penyusunan Undang-undang itu memang melibatkan pihak-pihak yang kompeten dalam proses misalnya penyusunan naskah akademik, sebagai sebuah guideline dalam penyusunan sebuah undang-undang yang disusun oleh akademisi, para pihak-pihak yang berwenang misalnya LSM, pegiat dan sebagainya," ujarnya.
Sehingga, lanjutnya, kemudian muncul naskah yang komperhensif. Namun berbeda ketika sudah menjadi produk rancangan undang-undang, itulah kemudian akan menjadi produk politik. "Supaya muncul undang-undang yang bersifat negarawan, maka disusunlah naskah akademik, tetapi memang itu belum sepenuhnya terealisasi dengan baik," kata Suparji.
Menurutnya,&nbsp;rekonstruksi regulasi dalam konteks perlindungan hewan menjadi keniscayaan, tetapi rekonstruksinya harus betul-betul komperhensif, betul-betul mendalam dengan melibatkan para pegiat-pegiat yang kompeten.
Ia menyebut pada prespektif budaya masyarakat, dirinya setuju adanya edukasi, sosialisasi dalam konteks menangani persoalan hewan. "Tidak berhenti pada sosialisasi berdasarkan norma saja, tetapi perlu ada pembelajaran-pembelajaran yang menjalar kepada masyarakat. Sesungguhnya proses-proses penyampaian materi di lingkungan keagamaan itu juga dari bagian melakukan edukasi terhadap masyarakat supaya muncul kesadaran untuk memberikan perlindungan hewan," kata dia.
Selanjutnya pada perspektif penegakan hukum perlunya ada kolaborasi. Menurutnya, tidak bisa hanya mengandalkan aparatur penegak hukum formil, tetapi perlu adanya sinergitas, kolaborasi sehingga terjadi produktivitas.
Namun demikian, kata Suparji, satu hal yang menjadi pertimbangan bahwa pemidanaan upaya terakhir dalam menyelesaikan persoalan. "Sekarang kita sangat mengedepankan di Kejaksaan dan Kepolisian adanya pendekatan restorative justice. Bahwa hukum itu ciptaan Allah atau Tuhan, hak-haknya dipenuhi sebagaimana mestinya dilindungi, disejahterakan, dicukupi kebutuhannya, dan ditempatkan secara proporsional," ujarnya.
"Memang ada binatang-binatang secara lahirnya memang menjadi bagian konsumsi manusia, tetapi kemudian tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, tetap harus ada prosedur, tidak boleh hanya dengan cara seenaknya, bahwa konteks penganiayaan adalah tindakan sewenang-wenang," kata Suparji.

Maraknya Kasus Penyiksaan Hewan, Pakar Sebut Tingkat Kepedulian Masyarakat Minim

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi