PAPUA, REQnews&nbsp;-&nbsp;Amnesty International meminta agar pemerintah Indonesia segera menghentikan pihak yang melakukan penambangan&nbsp;Blok Wabu di Papua karena berisiko meningkatkan konflik dan melanggar hak-hak Orang Asli Papua (OAP).
Dalam rilisnya pada Senin 21 Maret 2022, Amnesty Internasional menyebut jika di&nbsp;Kabupaten Intan Jaya, lokasi cadangan emas Blok Wabu berada telah menjadi pusat konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam beberapa tahun terakhir.
Melalui laporannya,&nbsp;Amnesty International mendokumentasikan penambahan aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah tersebut sejak 2019. Yaitu dengan 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan dan bagaimana OAP di sana kerap kali mengalami peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan.
Warga Intan Jaya mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menggunakan area penambangan yang diusulkan untuk membudidayakan tanaman, berburu binatang dan mengumpulkan kayu.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia&nbsp;Usman Hamid mengatakan jika dengan mengabaikan kebutuhan, keinginan dan tradisi penduduk asli Papua, pengembangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi hak asasi manusia yang juga sudah memburuk.
&ldquo;Orang-orang di Intan Jaya hidup di bawah ketakutan terhadap aparat keamanan yang semakin keras dan mengendalikan banyak aspek kehidupan sehari-hari mereka, dan sekarang mata pencaharian mereka berada di bawah ancaman dari proyek yang tidak dipersiapkan dengan baik ini. Sederhananya, Blok Wabu bisa berakibat bencana," kata Usman.
Untuk itu,&nbsp;Amnesty International pun kemudian melakukan&nbsp;wawancara jarak jauh dengan 28 orang tentang situasi di Kabupaten Intan Jaya, termasuk penduduk dan otoritas lokal, pembela hak asasi manusia, dan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil pada&nbsp;Maret 2021 hingga Januari 2022.
Usman menyebut bahwa mereka menggambarkan bagaimana bentrokan bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia telah meningkat secara dramatis selama dua tahun terakhir. Setidaknya, kata dia, sejak Februari 2020 ada rencana resmi untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu.
Karena, wilayah yang terletak di selatan distrik Sugapa, Ibu Kota Kabupaten Intan Jaya, Blok Wabu itu menganduing sekitar 8,1 juta ons emas yang menjadikannya salah satu dari lima cadangan emas terbesar di Indonesia.
Blok Wabu saat ini berada di bawah proses perizinan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia. Menurut dokumen resmi yang diperoleh Amnesty International, area penambangan yang diusulkan meliputi 69.118 hektar atau kurang lebih sebesar Jakarta.
Lebih lanjut, Usman menyebut bahwa pada September 2020, seorang pejabat senior Indonesia menyatakan niat pemerintah untuk mengizinkan perusahaan pertambangan milik negara PT Aneka Tambang Tbk, untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu.
Menurutnya, dalam surat-surat yang dikirim ke Antam dan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Indonesia pada Februari 2022, Amnesty International memaparkan masalah-masalah hak asasi manusia terkait proyek tersebut dan mengajukan beberapa pertanyaan. Namun, pada saat dipublikasikan, baik pemerintah maupun perusahaan belum merespons.
Meskipun Amnesty International belum menemukan bukti bahwa Antam atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terlibat langsung dalam konflik di Intan Jaya, Usman menyebut bahwa pihaknya khawatir tentang potensi dampak terhadap hak asasi manusia dan terhadap lingkungan dari penambangan di Blok Wabu dalam konteks konflik.
&ldquo;Pemerintah memiliki kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan dari Orang Asli Papua yang mungkin terdampak oleh tambang. Tetapi dalam iklim kekerasan dan intimidasi, sulit membayangkan bagaimana proses konsultasi seperti itu dapat memenuhi standar internasional,&rdquo; kata Usman.
&ldquo;Langkah pertama adalah memastikan apakah konsultasi penuh dan efektif bahkan dapat dilakukan dalam keadaan yang ada sekarang. Sebelum itu terjadi, Indonesia harus menekan tombol jeda pada rencana penambangan di Blok Wabu," lanjutnya.
Bahkan dirinya menyebut dalam konflik antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia telah terjadi selama beberapa dekade. Tetapi Kabupaten Intan Jaya muncul sebagai titik konflik baru di Papua setelah Oktober 2019, ketika anggota kelompok pro-kemerdekaan bersenjata membunuh tiga tukang ojek yang mereka tuduh sebagai mata-mata.
Sebagai bagian dari penelitian tersebut, Amnesty International telah mengidentifikasi 17 pos yang ditempati oleh aparat keamanan di Distrik Sugapa, Ibu Kota Intan Jaya. Kemudian berdasarkan hasil wawancara,&nbsp;hanya dua dari 17 pos tersebut yang sudah ada sebelum Oktober 2019.
Menurutnya, peningkatan jumlah pasukan keamanan nyatanya disertai dengan peningkatan pembunuhan di luar hukum, penggerebekan dan pemukulan. Laporan ini, lanjutnya, juga mendokumentasikan 12 dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota aparat keamanan Indonesia di Intan Jaya pada tahun 2020 dan 2021.
Usman mengatakan bahwa jumlah tersebut merupakan lebih dari seperempat dari jumlah total pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia di 42 kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dicatat oleh Amnesty International dalam rentang waktu yang sama.
Ia menyebut salah satunya adalah kasus dua bersaudara Apianus dan Luter Zanambani, yang jenazahnya dibakar oleh pasukan keamanan setelah mereka ditahan dalam penyisiran yang dilakukan pada April 2020 di distrik Sugapa.
Dirinya menyebut bahwa kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan seringkali terjadi di Papua tetapi akuntabilitas jarang terjadi, seperti yang didokumentasikan oleh Amnesty International dalam laporan 2018 &lsquo;Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati.'
Sementara Joanne Mariner, Direktur Program Respons Krisis Amnesty International menyebut bahwa Orang Asli Papua juga menggambarkan kepada Amnesty International beberapa insiden di mana aparat keamanan memukuli penduduk Intan Jaya.
&ldquo;Pihak berwenang Indonesia telah lama gagal menyelidiki secara memadai kasus- kasus pembunuhan di luar hukum dan laporan lain tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua,&rdquo; kata Joanne. &ldquo;Menyelidiki kasus-kasus seperti ini dan memastikan pelaku bertanggung jawab adalah kunci untuk menegakkan hak asasi manusia dan mencapai perdamaian di Papua."
Berdasarkan riset&nbsp;Amnesty International, mengungkapkan bahwa penambahan pasukan dan eskalasi konflik di Intan Jaya disertai pembatasan parah pada kebebasan warga setempat untuk bergerak. Warga mengatakan mereka harus meminta izin dari aparat keamanan Indonesia untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti berkebun, berbelanja, atau mengunjungi desa lain.
Sementara Orang Asli Papua bernama Lian mengatakan, bahwa mereka takut kehilangan tanah dan mata pencaharian serta mengkhawatirkan dampak polusi lingkungan. &ldquo;Jika ada penambangan, kami tidak akan memiliki tanah untuk berkebun. Ternak tidak akan mendapatkan buah segar langsung dari hutan, dan bahkan cucu-cucu kami akan kehilangan tanah adat,&rdquo; kata Lian kepada Amnesty International.
&ldquo;Ketika kami pergi ke kota untuk berbelanja, kami ditanya ke mana kami pergi, desa mana yang kami tinggali, kami dari mana. Kemudian setelah berbelanja, saat kami akan pulang, barang-barang kami diperiksa. Bahkan tas kami harus diperiksa setiap hari oleh aparat keamanan," lanjutnya.
Kemudian berdasarkan&nbsp;sumber Amnesty, aparat keamanan juga membatasi penggunaan perangkat elektronik seperti ponsel dan kamera. Ia juga mengatakan bahwa aparat keamanan Indonesia terkadang menahan mereka karena potongan rambut mereka, yang diasosiakan oleh pihak berwenang dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan.
&ldquo;Orang-orang seperti kami suka memiliki rambut panjang. Ini adalah bagian dari budaya kami, tidak hanya di Papua, tetapi di Melanesia. Saya telah ditanya lebih dari 10 kali tentang rambut dan kumis saya. Mereka menangkap banyak orang karena memiliki rambut panjang dan kumis. Mereka ditanya, dipukul,&rdquo; kata Gema, seorang warga setempat.
Sekadar diketahui, permasalahan tersebut sebelumnya juga telah dibahas oleh&nbsp;Haris Azhar dan Fatia Maulida dalam unggahan video yang di akun YouTube Haris Azhar dengan judul,&nbsp;'Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya.'
Namun, karena itu Haris dan Fatia dilaporkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, hingga saat ini keduanya menjadi tersangka dalam dugaan kasus pencemaran nama baik. Diketahui, video tersebut membahas hasil riset sejumlah organisasi tentang keterlibatan para pejabat dan pernawirawan dalam bisnis tambang emas dan rencana eksploitasi di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.
Riset tersebut berjudul 'Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya' yang diluncurkan oleh YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, bersama Koalisi Bersihkan Indonesia.
&nbsp;

Desak Penambangan Emas di Blok Wabu Dihentikan, Amnesty: Langgar Hak Orang Asli Papua!

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi