JAKARTA, REQNews - Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) telah merampas hak-hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari 1989 untuk mencari keadilan dengan secara sepihak melakukan “deklarasi damai” tanpa melibatkan mereka. Demikian tanggapan Amnesty International Indonesia terhadap pertemuan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM dari Kemenko Polhukam dengan Wakil Bupati, Ketua DPRD Lampung TImur, Forkompimda Lapung TImur, tokoh masyarakat dan warga. Pada pertemuan itu, mereka melakukan “Deklarasi Damai” untuk peristiwa Talangsari tanpa melibatkan korban maupun keluarga korban.&nbsp; Menanggapi pertemuan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan,“Kemenko Polhukam dan pihak-pihak yang terlibat dalam ‘Deklarasi Damai’ tersebut melanggar hak atas keadilan hukum dari para korban peristiwa Talangsari. Deklarasi tersebut cacat hukum dan moral karena mengatasnamakan korban namun tidak melibatkan korban sama sekali.” Sebagaimana dikutip dari siaran pers Amnesty International Indonesia, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab bahkan mengatakan, “Keberadaan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM telah kami tolak sejak 2018. Langkah tim dan Polhukkam sangat bertentangan dengan hukum – khususnya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.” Berdasarkan komunikasi Amnesty International Indonesia dengan perwakilan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (P2KTL) diketahui, para korban tidak dilibatkan atau dimintai masukan dan pandangan atas langkah pemerintah tersebut. Kepada Amnesty International Indonesia, perwakilan korban Talangsari dan P2KTL Edi Arsadad mengatakan, “Pada prinsipnya, kami mengapresiasi dibentuknya Tim Terpadu dari Kemenko Polhukkam untuk penyelesaian kasus Talangsari Lampung. Namun yang kami sesalkan adalah tidak dilibatkannya korban maupun keluarga korban dalam pertemuan antara Tim Kemenko Polhukam dengan unsur Forkompimda Kabupaten Lampung Timur, hingga adanya deklarasi damai kasus Talangsari Lampung yang tidak melibatkan korban.”&nbsp;<img src="https://photo.reqnews.com/images/ba4c2726b91ed5a3002f9385bd42295b.jpeg" style="width: 780px; float: none;">'Deklarasi Damai' terkait kasus pelanggaran HAM berat Talangsari 1989. (FOTO: Amnesty International Indonesia)Sepakat tidak ungkap kembali Bahkan, sebagaimana tertulis pada point ketiga deklarasi tersebut, para pelaku, korban dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tersebut tidak diungkap kembali oleh pihak-pihak manapun. Menurut Usman, point itu telah berdampak menutup akses bagi pihak lain yang ingin membantu korban mencari keadilan atas peristiwa Talangsari. Selain itu, point ketiga tersebut mendelegitimasi Komnas HAM sebagai lembaga negara yang independen yang menyelidiki kasus tersebut. Bahkan, lembaga ini sedang menanti langkah menyidikan oleh Jaksa Agung dan DPR yang dimandatkan undang-undang untuk bersama-sama Presiden membentuk pengadilan HAM Ad Hoc.&nbsp; Hal senada disampaikan pula Edi. Pihak korban yang telah merasa sangat kecewa atas ‘Deklarasi Damai’ tersebut meminta kasus Talangsari tetap dapat diproses sesuai UU HAM dan Pengadilan HAM serta dapat disidangkan ke pengadilan HAM Ad Hoc. Salah seorang korban peristiwa Talangsari, Kabul Supaito mengatakan,“Dalam momen 30 tahun Tragedi Talangsari dan bersamaan dengan pemilu dan Pilpres ini, korban Talangsari menuntut presiden dan DPR-RI, untuk menyelesaikan kasus Talangsari. Kami tidak menolak upaya pemulihan ekonomi kepada korban dan keluarga. Tapi jangan kesampingkan langkah hukum dan keadilan kami.” Isi Deklarasi Damai Dalam “Deklarasi Damai” yang bertanggal 20 Februari 2019 disepakati beberapa hal. Poin pertama adalah Bahwa masyarakat melalui wakilnya di DPRD telah menyatakan sikap untuk tidak memperpanjang kasus ini berdasarkan surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Timur Nomor: 170/32/XII/SK/DPRD-LTM/2000 tentang peristiwa Talangsari Way Jepara Kabupaten Lampung Timur. Poin kedua berbunyi: “bahwa selama 30 (tiga puluh) tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban dan keluarga korban. Sedangkan pada poin ketiga ditekankan bahwa para pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tersebut tidak diungkap kembali oleh pihak-pihak manapun. Dokumen ditandatangani oleh Ketua DPRD Lampung Timur Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur, Dandim 0429 Lampung Timur, KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu, Kades Rajabasa Lama, dan tokoh masyarakat Talangsari. Brigjen TNI Rudy Syamsir selaku Ketua Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM dan Kemenkopolhukam. Talangsari 1989 Amnesty International telah mencatat, peristiwa Talangsari 1989 merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM yang berat. Jaksa Agung mengembalikan berkas kasus ini pada 27 November 2018. Kemudian, 19 Februari 2019, Komnas HAM kembali mengirim berkas kepada Jaksa Agung. Komnas HAM menyatakan berkas-berkas yang dikembalikan oleh Jaksa Agung tidak memiliki petunjuk baru atas barang bukti atau kesaksian apa yang harus dilengkapi. Peristiwa yang terjadi 30 tahun lalu ini bermula dari sebuah kelompok pengajian di Talangsari, Lampung yang diduga ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Upaya dialog gagal dan militer menyerang warga sipil secara brutal. Setidaknya 45 orang tewas, 5 orang diperkosa, 88 orang korban penghilangan orang secara paksa, 36 orang disiksa, dan 173 lainnya ditahan sewenang-wenang. Dua puluh tiga orang telah menjalani proses pengadilan yang tidak adil, banyak rumah warga yang dihancurkan. (Prazz)

Terkait kasus Talangsari 1989, Kemenko Polhukam Rampas Hak Korban dalam ‘Deklarasi Damai’

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi