WASHINGTON, REQnews &ndash; Lual Mayen, seorang pengungsi asal Sudan Selatan di Amerika Serikat berhasil menciptakan video game yang terinspirasi dari kisahnya.&nbsp;Selama tinggal di Kamp pengungsian, Mayen bahkan belum pernah melihat komputer. Hingga suatu hari, ia melaporkan ke pusat pendaftaran Kamp pada usia 12 tahun. Dari situ ia belajar hingga menciptakan sebuah video game.
Nama gamenya adalahnya Salaam, ucapan bahasa Arab, yang artinya salam perdamaian. Dengan diciptakannya Salaam, Mayen memberi sebuah pemahaman kepada para pemain tentang arti hidup sebagai pengungsi pelarian yang menjadi tunawisma kelaparan.
&ldquo;Banyak orang yang tidak memahami perjalanan seorang pengungsi,&rdquo; ujar Mayen mengutip New York Post.
Dalam game tersebut, para pemain karakter virtual tidak harus berpindah dari negara yang dilanda perang. Jika ingin menghindari dari pasukan musuh yang menyerang, para pemain hanya perlu menemukan makanan dan air.
Mayen mengatakan, meskipun ini game gratis untuk dimainkan, namun para pemain perlu membeli alat-alat utuk melawan musuh seperti makanan, air, atau obat-obatan untuk karakter virtual mereka. Uniknya, pembelian itu dilakukan dalam bentuk aplikasi yang akan terkoneksi yang didonasikan kepada para pengungsi di kehidupan nyata.
&ldquo;Salaam akan menjadi game pertama yang menjembatani dalam dunia virtual dan kenyataan di lapangan.&nbsp;Ketika seseorang membeli makanan dalam game, sebenarnya ia telah membelinya untuk seseorang di Kamp pengungsi,&rdquo; kata Mayen.
Pria berusia 25 tahun itu berharap dengan game buatannya akan mencerahkan remaja saat ini agar mereka menjadi generasi yang dapat membuat kebijakan.
&ldquo;Ketika mereka membuat kebijakan, mereka akan mengerti apa yang dihadapi para pengungsi, hanya dengan memainkan game saya," katanya.
"Itulah sebenarnya cara kita mengubah dunia dan bagaimana kita dapat menggunakan industri ini untuk kebaikan,&rdquo;&nbsp;ujarnya Mayen.
Sebelumnya, Mayen melakukan perjalanan sepanjang 250 mil untuk melarikan diri dari perang saudara di negaranya, Sudan Selatan. Ia pernah menghabiskan 22 tahun lamanya di sebuah kamp pengungsi di Uganda utara sebelum pindah ke Amerika Serikat.
&ldquo;Itu adalah perjalanan hidup dan mati,&rdquo; ujarnya saat mengingat kisah keluargaya yang bertahan dari serangan bom, binatang buas dan bagaimana bayi ditinggalkan oleh orang tua yang tidak bisa lagi merawat mereka.

Gokil! Pengungsi Sudan di Amerika Bikin Video Game dari Pengalaman Pribadi

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi