JAKARTA, REQnews -&nbsp;Dewasa ini tujuan pemidanaan&nbsp;mengubah haluan&nbsp;dari yang awalnya hanya berorientasi pada pembalasan semata menuju perbaikan seperti keadaan semula.
Tujuan pemidanaan menurut teori absolut (retributif) yang menekankan kepada tuntutan keadilan dimanifestasikan dengan pembalasan atau balas dendam kepada pelaku sudah mulai ditinggalkan. Hal itu&nbsp;dikarenakan pemidanaan semata-mata hanya pemberian hukuman atau sanksi pidana seberat-beratnya.&nbsp;
Keadilan restoratif mengembalikan fungsi hukum pidana itu sebagai obat terakhir (ultimum remedium) bukan alat satu-satunya (primum remedium).
Maka, hukum pidana hendaklah dijadikan jalan terakhir dalam penegakan hukum&nbsp;dan mendahulukan&nbsp;alternatif penyelesaian lain.
Salah Kaprah Restorative Justice&nbsp;
Seringkali orang salah mengartikan restorative justice (keadilan restoratif). Banyak yang mengira bahwa konsep ini membuat pelaku lepas dari jeratan hukum.&nbsp;
Seperti pernyataan salah satu pejabat yang juga pakar hukum yaitu Prof Mahfud MD menyampaikan bahwa "hal-hal sepele tidak harus dibawa ke pengadilan."
Mahfud pun mencontohkan kasus pemerkosaan. Misalnya ada seorang perempuan yang diperkosa, kalau mau hukum tegas pemerkosa ditangkap masuk ke pengadilan. Tetapi restorative justice tidak bicara itu.
Menurutnya, jika kasus pemerkosaan diumumkan, maka hati keluarga akan hancur.&nbsp;Itulah mengapa dulu dalam masyarakat adat ada kawin lari untuk restoratif. Agar tidak ada yang malu.
Restorative justice, menurutnya membangun harmoni agar tidak ada kegaduhan antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat.
Sungguh, pernyataan yang cukup ironi. Restorative justice memang dapat diterapkan dalam berbagai kasus. Namun,&nbsp;dalam kasus pemerkosaan yang dicontohkan Mahfud dimana restorative justice bukan untuk menangkap dan mengadili pelaku tidaklah tepat.
Apalagi kasus diselesaikan dengan menikahkan pelaku dan korban dengan alasan agar tidak menimbulkan kegaduhan. Lebih miris lagi kalau korban terpaksa dinikahkan dengan pelaku.&nbsp;
Pernyataan Menko Polhukam tersebut bertentangan dan tidak sejalan dengan nilai dan prinsip restorative justice.
Sesungguhnya, restorative justice&nbsp;bukan untuk membungkam korban melainkan merupakan pendekatan yang memperhatikan kepentingan semua pihak, baik korban maupun pelaku.&nbsp;
Orientasi pendekatan ini adalah pemulihan terbaik bagi korban dengan mekanisme-mekanisme penyelesaian sengketa yang memupuk pertanggungjawaban pelaku. Pelaku diharapkan menyadari perbuatan dan dampak yang ditimbulkannya serta tidak mengulangi lagi perbuatannya tersebut.&nbsp;
Restorative Justice Sebagai Upaya Over Capacity Lapas
Sudah bukan rahasia lagi jika lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia mengalami kelebihan kapasitas. Melansir dari website smslap.ditjenpas.go.id total tahanan dan narapidana Januari 2021 mencapai 252.286 sedangkan kapasitas hanya 135.704. Itu artinya lapas mengalami over capacity sebesar 86%.&nbsp;
Sudah saatnya penegak hukum dan pemerintah melirik permasalahan overcrowded yang ada di lapas. Dengan mengubah paradigma bahwa tidak semua permasalahan harus masuk ke ranah peradilan dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaiannya, maka bukan hal yang mustahil overcrowded&nbsp;lapas dapat diatasi.
Dasar Hukum dan Penerapan Restorative Justice
1. Pada Perkara Tindak Pidana Ringan
-KUHP Pasal 310&nbsp;
-KUHAP Pasal 205
-PERMA nomor 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP
-Peraturan Kejaksaan (Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
-Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (restorative justice)
-Nota kesepakatan bersama Ketua MA RI, MenkumHam, Jaksa Agung, Kepolisian RI , tentang pelaksanaan penerapan penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda, acara pemeriksaan cepat serta penerapan keadilan restoratif (restorative justice).
Adapun perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah perkara tindak pidana ringan dengan ancaman pidana sebagaimana diatur dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
2. Pada Perkara Anak
-UU nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
-UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
-Perma nomor 4 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam SPPA.
Adapun penerapan SPPA wajib mengutamakan restorative justice.
Syarat Penerapan Restorative Justice
Penyelesaian perkara harus memenuhi syarat formil dan syarat materil.
Syarat materilnya meliputi: tidak menimbulkan keresehan masyarakat dan tidak ada penolakan dari masyarakat; tidak berdampak sosial; adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak keberatan dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum; serta surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum dikirim ke kejaksaan; serta harus memperhatikan prinsip pembatas.
Adapun syarat formil yakni surat perdamaian antara pelapor dan terlapor sudah ditandatangani.
Contoh Kasus
Ada seorang perempuan di Sulawesi Barat diperkosa oleh tiga orang pelaku. Berdasarkan adat yang berlaku, Dewan Adat Mamasa menjatuhkan sanksi adat untuk ketiganya yakni hukuman adat diparraukan.&nbsp;
Diparraukan atau kerbau ditombak yang juga dikenal dengan istilah Dipa'longkosan' atau kerbau ditebas, merupakan sanksi terberat dalam tatanan tradisi masyarakat Mamasa. Kerbau tersebut dipilih oleh Ketua Adat dan nantinya pelaku harus membayar harga kerbau. Di Mamasa, 1 kerbau seharga Rp 1 miliar. Daging kerbau tersebut kemudian dihanyutkan ke sungai dengan harapan perilaku bejat juga ikut luntur bersama air yang mengalir.&nbsp;
Contoh lain di Papua, jika menabrak seekor babi betina maka penabrak harus membayar senilai harga seekor babi. Jika satu ekor babi seharga Rp 30 juta maka penabrak harus membayar sejumlah tersebut dikalikan dengan jumlah puting susu yang ada pada babi betina. Jika terdapat 5 puting susu maka penabrak wajib membayar Rp 150 juta.&nbsp;
Restorative Justice dan hukum pidana adat mempunyai persamaan tujuan yaitu untuk memulihkan keadaan seperti semula dan tidak sekedar fokus pada penghukuman belaka.&nbsp;
Menurut hemat penulis, kedepan harus ada perubahan paradigma baik dari masyarakat, penegak hukum dan pemerintah. Hukum pidana bukanlah alat satu-satunya untuk melakukan penghukuman. Terlebih dahulu harus diutamakan restorative justice. Namun, nampaknya perkara yang dapat ditempuh melalui restorative justice juga haruslah dikelompokkan. Misal perkara yang terdapat korban atau yang merasa dirugikan atau tidak.
Selain itu, salah kaprah pemahaman terhadap restorative justice juga harus diluruskan.
Ukuran keberhasilan pelaksanaan peradilan pidana bukanlah dilihat dari banyaknya jumlah narapidana yang divonis hukuman penjara tetapi adalah tercapainya keadilan&nbsp;dan rasa kemanusiaan bagi semua pihak.&nbsp;

Jangan Salah Kaprah Prof Mahfud, Ini Konsep Restorative Justice Sebenarnya

Berita Terkait

Berita Rekomendasi