Oleh: Ade Adhari&nbsp;Ahli Hukum Pidana Universitas Tarumanagara&nbsp; Direktur Eksekutif Diponegoro Center for Criminal LawJAKARTA, REQnews - Pada akhir tahun 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Hal yang dilakukan tersebut dinilai sebagai respon terhadap kebutuhan kepastian hukum setelah Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini”.&nbsp;Pasca terbitnya Perppu Cipta Kerja perdebatan yang muncul didominasi dengan mempertanyakan konstitusionalitas penerbitannya. Namun sesungguhnya pertanyaan tersebut telah dijawab dengan dirumuskan alasan hal ikhwal kegentingan memaksa sebagaimana disampaikan secara expressive verbis di dalam Penjelasan Umum Perppu Cipta Kerja yang secara sederhana didasarkan pada adanya pelemahan pertumbuhan ekonomi yang terjadi bersamaan dengan fenomena stagflasi. Kondisi tersebut pun didasarkan pada berbagai laporan yang dirilis antara lain oleh World Economic Outlook (WEO) Oktober 2022.Perppu Cipta Kerja Hadirkan Kepastian Hukum PidanaDisamping perdebatan konstituisonalitas, sesungguhnya terdapat satu hal yang dilupakan. UU Cipta Kerja yang oleh Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat telah menimbulkan ketidakpastian hukum pidana. UU Cipta Kerja di dalamnya juga mengatur apa yang disebut dengan kebijakan hukum pidana administrasi (administrative penal law).&nbsp;Ada banyak ketentuan pidana dalam berbagai undang-undang yang materi muatannya mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja, antara lain: Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi; Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian ; Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan; Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU RI No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan; UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan; Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan; Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi; Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan lain sebagainya.Kepastian hukum adalah hal yang esensial di dalam konteks negara hukum. Bahkan hal ini merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D UUD 1945 ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil.&nbsp;Negara dalam hal ini memiliki tanggung jawab (state responsibility) untuk memastikan pemidanaan atau proses penjatuhan sanksi pidana berpegang pada prinsip kepastian hukum. Prinsip hukum ini tidak dapat diwujudkan dengan ketidakpastian terhadap sumber hukum pemidanaan apabila ada subjek hukum yang melakukan pelanggaran terhadap UU Cipta Kerja pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Di dalam praktek penegakan hukum, aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik, penutut umum dan hakim harus diberikan jaminan perihal sumber hukum yang dapat digunakan untuk mengenakan pidana apabila ada pihak yang melakukan tindak pidana yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Jangan sampai aparat penegak hukum berada dalam kondisi ketidakpastian hukum apakah ketentuan pidana dalam UU Cipta Kerja dapat menjadi dasar pemidanaan ataukah tidak.Peran Kebijakan Hukum Pidana dalam Perppu Cipta KerjaKebijakan hukum pidana administrasi yang ada dalam Perppu Cipta Kerja dimaksudkan sebagai hulprecht (hukum pembantu) agar masyarakat mau menaati norma yang ada di dalam. Karakteristik sanksi pidana yang tegas inilah yang menjadi dalil untuk mempengaruhi masyarakat mematuhi apa yang dikehendaki oleh Perppu Cipta Kerja. Tentunya kepatuhan terhadap Perppu Cipta Kerja menjadi hal yang harus diperhatikan guna memastikan tujuan UU Cipta Kerja berhasil antara lain (a) menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja; (b) menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan; (c) pengutanan dan perlindungan kepada Koperasi, UMK-M serta industri nasional; dan (d) peningkatan investasi, kemudahan, dan percepatan proyek strategis nasional.

Perppu Cipta Kerja Hadirkan Kepastian Hukum Pidana

Berita Terkait

Berita Rekomendasi