JAKARTA, REQnews - Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada akhir November 2025 bukan hanya meninggalkan jejak fisik berupa korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan ribuan warga yang mengungsi.&nbsp; Bencana ini juga memunculkan gelombang kegelisahan publik akibat komunikasi yang kurang sensitif dari pemerintah, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).&nbsp; Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto yang menyebut banjir Sumatra “terlihat mencekam di media sosial” dan belum layak ditetapkan sebagai bencana nasional memicu amarah publik. Kalimat tersebut dianggap mengabaikan penderitaan warga, terlebih ketika data resmi BNPB sendiri menunjukkan 217 korban meninggal, 79 hilang, dan sejumlah wilayah masih terisolasi.&nbsp; Padahal, dalam konteks krisis, komunikasi bukan sekadar menyampaikan informasi. Ia adalah instrumen psikologis, moral, dan sosial yang menentukan kepercayaan publik, bahkan bisa memengaruhi kepatuhan masyarakat terhadap upaya penyelamatan dan evakuasi.&nbsp; Era Ketika Negara Mampu Bicara dengan Hati&nbsp; Kemarahan publik yang muncul hari ini bukan semata karena sensitivitas yang kurang, tetapi karena masyarakat pernah merasakan standar komunikasi yang jauh lebih manusiawi. Publik masih mengingat bagaimana Sutopo Purwo Nugroho, Doni Monardo, dan Achmad Yurianto hadir bukan hanya sebagai pejabat, tetapi sebagai wajah simpati negara.&nbsp; Seperti almarhum Sutopo Purwo Nugroho, yang bergerak tidak hanya menyampaikan data BNPB, tetapi mengubah informasi menjadi pengertian. Dalam kondisi sakit sekalipun, ia tetap hadir di ruang publik, membacakan kabar dengan suara yang penuh empati. Ia tidak menenangkan dengan janji, tetapi dengan kejujuran. Bagi banyak orang, Sutopo bukan sekadar juru bicara, ia adalah pelipur di tengah bencana.&nbsp; Sementara Almarhum Doni Monardo, mantan Kepala BNPB juga menghidupkan filosofi “alam jaga kita, kita jaga alam” dalam narasi penanggulangan bencana. Pendekatannya tidak hanya teknis, tetapi membangun kedekatan emosional dengan masyarakat adat, relawan, hingga tokoh lokal. Ia membuat mitigasi terasa sebagai gerakan bersama, bukan sekadar instruksi negara.&nbsp; Begitu juga dengan juru bicara Satgas Covid-19 almarhum Achmad Yurianto. Di masa pandemi, ia menjadi suara yang menenangkan ketika ketakutan menguasai ruang publik. Narasinya lugas, konsisten, dan menghindari bahasa teknokratis yang menyesatkan. Ia berbicara dengan ritme yang membuat masyarakat merasa dibimbing, bukan dihakimi.&nbsp; Ya, ketiganya menunjukkan satu prinsip yang kini terasa hilang: Komunikasi krisis bukan tentang menjadi benar, tetapi menjadi hadir. Saat Kata Bisa Menjadi Luka Kedua&nbsp; Bencana fisik sudah cukup menyakitkan. Namun ketika komunikasi negara terasa abai, rakyat merasa seperti dikorbankan dua kali, oleh alam dan oleh kata-kata yang dingin. Masyarakat tidak membutuhkan pejabat yang tergesa berbicara, tetapi pemimpin yang berhati-hati memilih diksi.&nbsp; Pakar komunikasi risiko asal AS, Peter M. Sandman, menegaskan, “Dalam krisis, fakta bukan sekadar informasi. Fakta adalah cara pemerintah menunjukkan kepeduliannya.”&nbsp; Artinya jika kepedulian tak tampak dalam bahasa, maka keberadaan negara pun dipertanyakan. Cek dan Ricek Berjenjang: Tanggung Jawab Rasa, Bukan Rutinitas Kantor&nbsp; Verifikasi data sebelum disampaikan ke publik bukan hanya urusan administrasi. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap mereka yang sedang menahan tangis menunggu kabar keluarga. Setiap angka adalah seseorang, dan setiap seseorang adalah dunia bagi keluarganya.&nbsp; Karena itu data harus bersumber dari lapangan, dikonfirmasi lintas instansi, diuji pilihan bahasanya, dan dipastikan tidak menyakiti pihak yang sedang rapuh. Dalam krisis, ketergesa-gesaan bukan tanda sigap, tetapi tanda bahwa nurani tidak ikut bekerja.&nbsp; Pakar komunikasi krisis Inggris, Jonathan Tanner, mengingatkan “Krisis menguji bukan hanya apa yang pemerintah lakukan, tetapi bagaimana pemerintah memperlakukan warganya.”&nbsp; Bencana Bisa Datang Tanpa Pemberitahuan, Tetapi Empati Tidak Boleh&nbsp; Negara tidak harus sempurna, tetapi negara harus hadir dengan rasa. Di tengah puing-puing dan genangan air, masyarakat tidak mencari kehebatan teknologi atau kecepatan prosedur. Yang mereka butuhkan hanyalah kepastian bahwa kehidupan mereka masih dihargai.&nbsp; Bencana boleh merenggut banyak hal, namun jangan biarkan komunikasi merenggut harapan terakhir yang rakyat punya. Karena di ujung segala bencana, masyarakat tidak menunggu penjelasan panjang, mereka hanya menunggu satu kalimat yang manusiawi, “Kami ada. Kami mendengar. Dan kami bersama kalian.”

Ketika Kata Menjadi Nyawa: Mengapa Komunikasi Empatik Dibutuhkan dalam Bencana dan Bagaimana Negara Kehilangan Sentuhan Manusianya

Berita Terkait

Berita Rekomendasi