SULAWESI SELATAN, REQnews - Dikenal sebagai suku tertua, Suku Kajang masih kental dengan budaya dan adatnya, sehingga masih memegang teguh adat tradisionalnya.&nbsp; Mereka bermukim di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 200 km dari Kota Makassar dan 40 km dari Bulukumba.&nbsp;Menurut The Washington Post, Suku Kajang telah berkontribusi menjaga bumi dengan kebijakan yang dibuatnya untuk melestarikan hutan. Sehingga, suku tersebut dinobatkan menjadi penjaga hutan hujan tropis terbaik di dunia.&nbsp; Suku ini memiliki kebijakan unik yang melarang keras penebangan pohon, perburuan, bahkan mencabut rumput, kecuali untuk kebutuhan adat yang mendesak.&nbsp; Suku tersebut membagi hutan menjadi dua yaitu Borong Karamaka (hutan keramat) di mana semua kegiatan dilarang, dan Borong Batasayya (hutan perbatasan) yang memungkinkan aktivitas terbatas dengan aturan ketat. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan rasa hormat mereka terhadap alam dan spiritualitas leluhur.&nbsp; Selain itu, mereka juga berkomitmen untuk menanam dua pohon setiap kali satu ditebang. Hal itu menunjukkan bagaimana keseimbangan alam menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Suku yang memiliki ciri khas berpakaian serba hitam serta tak memakai alas kaki ini, memiliki beragam ritual unik warisan leluhur yang masih dijaga.&nbsp; Pakaian tersebut dikenal dengan nama Baju Bodo yang diperkirakan sebagai salah satu busana tertua di dunia. Warna hitam, selain sebagai warna adat dan kental akan kesakralannya, juga memiliki makna sebagai bentuk persamaan dalam segala hal dan juga kemudahan.&nbsp; Selain itu, juga menunjukkan kekuatan dan kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang haus menjaga keasliannya sebagai sumber kehidupannya.&nbsp; Sehari-hari, bahasa yang digunakan oleh Suku Kajang adalah bahasa Makassar yang berdialek Konjo. Secara norma, mereka dilarang untuk berbahasa yang kasar dan bersikap dengan bertolak pinggang.&nbsp; Mereka telah dibiasakan saat berbicara dengan melipat tangan di dada sambil membungkuk badan dan menggulung sarung.&nbsp;Mereka menggunakan sarung hitam yang dikenal dengan tope le 'leng, yang mereka tenun sendiri dengan menggunakan pewarna alami.&nbsp; Karena masih memegang teguh adat istiadatnya, masyarakat Suku Kajang pun masih menutup diri dari modernisasi.&nbsp; Dengan kepercayaan yang dianut adalah agama Islam atau dalam bahasa konjo disebut "Sallang", dan Tuhan yang diyakini untuk disembah adalah Allah atau dalam bahasa Konjo di sebut "Turie' A'ra'na".&nbsp; Maka dari itu, dalam pemberian nama tak boleh menggunakan nama malaikat, nabi, atau nama kebesaran Allah yang dianggap akan menimbulkan kedurhakaan dan menanggung dosa.&nbsp; Lebih lanjut, masyarakat adat Kajang yang terikat oleh adat, mengharuskan mereka untuk menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat.&nbsp; Jika tidak, mereka harus hidup di luar kawasan adat. Namun, ada pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku dalam kawasan tersebut.&nbsp; Suku tersebut memiliki bangunan rumah yang hampir sama bentuknya dengan rumah adat Suku Bugis-Makassar yaitu rumah panggung. Perbedaannya, rumah Suku Kajang harus menghadap ke arah barat.&nbsp; Maknanya yaitu, apabila membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercaya mampu memberi berkah. Bentuknya pun seragam, tak ada yang berbeda yang menyimbolkan kesederhanaan serta keberagaman.&nbsp; Pantangan bagi masyarakat Suku Kajang membangun rumah dengan batu bata dan tanah. Rumah mereka hanya boleh dibangun menggunakan kayu, karena mereka percaya bahwa hanya orang yang sudah meninggal yang diapit oleh liah lahat dan tanah.&nbsp; Selain itu, penggunaan batu bata juga dinilai merusak hutan. Karena untuk membuat batu bata memerlukan kayu bakar yang banyak untuk pembakarannya.&nbsp; Bagian rumahnya pun memiliki makna tersebut, seperti Parra atau bagian atas rumah yang berfungsi sebagai penyimpanan makanan.&nbsp; Lalu, Kale Bella atau bagian tengah rumah yang berfungsi sebagai hunian keluarga. Serta Sirih yang merupakan bagian bawah rumah berfungsi untuk tempat melakukan kegiatan menenun, ternak, atau menumbuk bahan makanan.&nbsp; Memiliki ilmu hitam atau santet "Doti", membuat Suku Kajang menjadi suku yang paling ditakuti ketiga di Indonesia, bahkan dunia. Ilmu tersebut biasa digunakan untuk menyakiti atau menghilangkan nyawa orang lain.&nbsp; Kabarnya, dengan menggunakan "Doti", Suku Kajang bisa membunuh orang tanpa harus menyentuhnya. Untuk mencederai seorang musuh biasanya harus disiapkan foto calon korban, ayam putih, dan juga air putih.&nbsp; Sementara itu, korban yang terkena Doti kabarnya akan merasakan sakit, menderita cacat, bahkan hingga kehilangan nyawa. Meskipun demikian, tak semua orang bisa mempraktekkan ilmu hitam ini. Hanya orang-orang khusus dan tertentu yang bisa melakukan "Doti".&nbsp; Karena, para dukun, pemilik serta pelaku Doti, harus menerima risikonya saat melakukan Doti. Jika gagal, santet yang mereka kirim justru akan kembali berputar ke arah mereka dan berakhirnya kematian.&nbsp; Beragam ritual pun dimiliki oleh Suku Kajang, seperti Bakar Linggis untuk menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kejujuran.&nbsp; Linggis besi akan dibakar dalam bara panas. Setelah itu, besi panas akan dipegang oleh Puto Gassingdaeng Makkulle sosok paling dihormati dan dinilai paling suci di kalangan Suku Kajang dan sejumlah warga Kajang lainnya.&nbsp; Jika tangan mereka tidak merasakan panas, artinya mereka suci dan jujur. Sedangkan bagi yang tidak jujur, tangan mereka akan terasa panas saat memegang linggis.&nbsp; Ritual lainnya yaitu, Apule Sumajang yang merupakan ritual untuk mengungkapkan rasa syukur atas kesembuhan seseorang. Mereka akan berkumpul, lalu menyembelih ayam dan membakarnya bersama-sama.

Dinobatkan Jadi Suku Penjaga Hutan Hujan Tropis Terbaik di Dunia, Begini Kehidupan Suku Kajang di Bulukumba

Berita Terkait

Berita Rekomendasi