JAKARTA -- Aristokrat Tionghoa di era Hindia-Belanda identik dengan kemewahan, dan menjauh dari persoalan sosial di masyarakatnya, tapi tidak asumsi itu tidak berlaku bagi Auw Tjoei Lan.Auw Tjoei Lan mendahului zamannya. Aktivitasnya memerangi perdagangan perempuan lintas negara terekam dalam berbagai laporan media saat itu. Ia juga dikenal sebagai ibu bagi anak-anak terlantar, dan sosok yang melahirkan Panti Asuhan Ati Soetji, kini Panti Asuhan Hati Suci.Lahir di Madjalengka 17 Januari 1889, Meninggal 19 Desember 1965. Ayahnya, Auw Seng Hoe, kapitein der Chinezen Madjalengka, birokrat, tuan tanah pemilik perkebunan tebu dan pabrik bula.Ibunya, Tan An Nio, adalah cucu keponakan Tan Tjin Kie, majoor der chinezen Cirebbon. Ia menikah dengan Lie Tjian Tjoen, putra Lie Tjoe Hong -- majoor der Chiezen ketiga Batavia.Artinya, Auw Tjoei Lan berasal dari dan menjalani kehidupan di dalam keluarga cabang atas, atau sia, atau masyarakat elite Tionghoa di Hindia Belanda saat itu.Ia dibesarkan dalam keluarga Tionghoa berpikiran maju, mendapat pendidikan Belanda dari guru privat yang didatangkan dari Batavia, melanjutkan pendidikan ke Bogor, dan tinggal di rumah keluarga pendeta.Kembali ke Majalengka, Auw Tjoei Lan bergelut dengan kegiatan amal ayahnya. Ia mendapat tugas memberi makan tuna netra. Tugas sederhana tapi harus dijalani sepenuh hati.Auw Tjoei Lan melakukan kesalahan kecil. Ia lalai membuang duri-duri ikan. Ayahnya mengetahui dan menghukumnya dengan pukulan rotan.Kisah ini mengajarkan betapa jika ingin menolong harus sepenuh hati, tidak setengah-setengah. Itulah yang membentuk karakter Auw Tjoei Lan. Bayi di Beranda RumahPada 2 &nbsp;Maret 1907 Auw Tjoei Lan menikah dengan Lie Tjian Tjoen, putra Lie Tjoe Hong -- majoor der Chinezen Batavia ketiga, pindah ke Batavia dan segera dikenal dengan nama Ny Lie Tjian Tjoen.Keduanya tinggal di rumah mertua dengan banyak kamar di Jl Pintu Besar, Batavia. Di rumah itu Auw Tjoei Lan melahirkan empat putra dan satu putri.Ketika anak-anaknya mulai besar, Auw Tjoei Lan dan Lie Tjian Tjoen pindah ke sebuah rumah di Gunung Sahari.Di rumah ini segalanya berawal.Suatu kali, Auw Tjoei Lan menemukan sesosok bayi di beranda rumah. Ia ambil bayi itu dan merawatnya.Tak berapa lama kemudian Zuster Gunning, orang Belanda yang pernah menjadi gurunya, datang membawa bayi dan meminta Auw Tjoei Lan merawatnya.Hari-hari berikut Zuster Gunning membawa bayi lebih banyak lagi dan berkali-kali. Akhirnya, dia memutuskan mendirikan panti asuhan untuk bayi terlantar.Panti asuhan diurus Zuster Gunning, dr Zigman dan dr Boeke. Auw Tjoei Lan juga diperkenalkan dengan Graaf van Limburg Stirum, istri gubernur jenderal Hindia-Belanda saat itu.Berkat koneksi dan pengurus berdedikasi, Auw Tjoei Lan tanpa kesulitan donasi. Ia mendapatkan 700 gulden, yang digunakan menyewa rumah untuk mengurus bayi-bayi. Rumah itu terletak tidak jauh dari rumahnya di Gunung Sahari.Pada 17 Oktober 1917, Auw Tjoei Lan mendirikan 't Huis voor Chineesche Meisjes, atau Rumah Piatu Perempuan Tionghoa.Setelah sekian lama, panti asuhan berganti nama menjadi Ati Soetji. Di kalangan orang Tionghoa, Ati Soetji dikenal dengn nama Po Liang Kok, atau tempat perlilndungan untuk menjaga kebaikan.Tahun 1925, Atie Soetji membuka panti asuhan untuk anak laki-laki. Rumah panti asuhan juga pindah beberapa kali, dari Gunung Sahari ke Salemba, dan terakhir ke Kebon Sirih.Seperti orang tuanya, Auw Tjoei Lan memperhatikan segala keperluan anak asuhnya; mulai dari asupan gizi, kesehatan, pendidikan, sampai mempesiapkan pernikahan. Tjoei Lan tidak ingin anak-anak asuhnya terlantar karena akan melahirkan anak terlantar di masa depan. Memerangi Perdagangan ManusiaAuw Tjoei Lan populer di sekujur Batavia. Tidak hanya di kalangan masyarakat Tionghoa tapi juga Belanda. Kedekatannya dengan Graaf van Limburg Stirum membuatnya hadir dalam banyak kesempatan dengan masyarakat kelas atas Hindia Belanda saat itu.Tahun 1930, saat Hindia Belanda memasuki krisis ekonomi, Auw Tjoei Lan menerima sepucuk surat dari orang tak dikenal. Pengirim memberikan alamat keberadaannya di Batavia.Malam itu ia keluar dari rumahnya di Gunung Sahari menuju sebuah hotel di kawasan kota. Ia menemukan gadis pengirim surat itu dalam sebuah tong yang bergoyang. Gadis itu berusia 14 tahun, datang dari Tiongkok, tak bisa bahasa apa pun kecuali Hokkian, dan akan dijadikan pelacur oleh orang yang membelinya.Auw Tjoei Lan membawa gadis ke panti asuhannya, dan mengorek keterangan tentang perdagangan manusia yang marak di era malaise.Sejak saat itu, Auw Tjoei Lan menjadi pendekar yang menyelamatkan gadis-gadis Tiongkok yang diperdagangkan untuk menjadi pelacur di Batavia.Ia masuk dari satu ke lain tempat pelacuran di sekujur Batavia, mengeluarkan gadis-gadis belia dari Tiongkok dan menampungnya. Ia berani bertengkar dengan batauw, mucikari, menerima ancaman pembunuhan para centeng rumah pelacuran, dan meladeni upaya pemerasan.Auw Tjoei Lian tidak pernah gentar. Ia terus melakukan upaya penyelamatan meski tahu tak semua gadis bisa diselamatkan.Tahun 1930-an, ketika krisis ekonomi melanda Hindia-Belanda, perdagangan gadis dari Cina daratan, terutama Amoy dan Macau, sedemikian ramai. Malaya memperketat penjagagan perdagangan manusia, yang membuat penyelundup manusia menjadikan Batavia sebagai tujuan.Keng Po, surat kabar Tionghoa di Batavia, menulis; Di Batavia, dagang madat lebih susah dari jual daging manusia. Setiap malam Amoy dan Macaopo bisa dipesan. Mereka dibawa dengan delman atau mobil dari Pantjoran, Glodok.Auw Tjoei Lan dan Ati Soetji menggerakan Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) -- organisasi bentukan Kongres Perempoean Indonesia Pertama di Yogyakarta 22-24 Desember 1928 -- untuk melakukan hal serupa.PPPI membentuk Perkoempoelan Pembertasan Perdagangan Perempoean dan Anak, mendirikan asrama perempuan sebagai tempat berlindung bagi perempuan terlantar, dan mengembangkan kreativias perempuan.Organisasi lainnya; Madjoe-Kemoeliaan, Po Leung Kuk, Indo-Europeesch-Verbond Vrouwen Organisatie, dan Comite Pemberantasan Perdagangan Perdagangan Anak, juga terlibat. Partai-partai bergerak. Sarekat Islam, misalnya, melakukan upaya memberantas perdagangan manusia dan prostitusi.Liga Bangsa Bangsa menggelar konferensi di Bandung untuk membahas masalah perdagangan perempuan. Auw Tjoei Lan hadir sebagai pembicara. Ia menceritakan pengalamannya.Pemerintah Hindia-Belanda menganugerahi Auw Tjoei Lan bintang Ridder in de Orde van Nassau. Namun tak lama kemudian Jepang datang, dan segalanya berubah.Perdagangan manusia menggila, karena petugas imigrasi dan polisi gampang disuap pemilik rumah pelacuran. Masyarakat Tionghoa yang ditengarai antek Belanda ditangkap dan dipenjara. Lie Tjoen Tjian ditahan di kamp interniran di Bukit Duri, Serang, dan Cimahi.Auw Tjoei Lan juga sempat ditahan beberapa hari sebelum dibebaskan. Menariknya, Jepang menghargai pekerjaan Auw Tjoei Lan dan memberikan bantuan. Namun, Ati Soetji mengalami kesulitan keuangan dan tutup.Setelah dekolonisasi, Auw Tjoei Lan mencoba membangun kembali Ati Soetji, dan berhasil. Ia terus mengabdikan diri pada kemanusiaan sampai ajal menjemput pada 19 Desember 1965.Selayaknya kita mengabadikan dedikasi Auw Tjoei Lan dalam ingatan kita dan terus memperkenalkan namanya ke generasi berikut.

Mengenang Auw Tjoei Lan, Pengasuh Anak Terlantar dan Pendekar anti-Perdangan Manusia

Berita Terkait

Berita Rekomendasi