Jakarta, REQNews.com -- Sejarah ditulis pemenang. Entah siapa yang memunculkan kredo ini; Napoleon Bonaparte, Niccolo Machiavelli, atau Winston Churchill? Namun, waktu tak pernah luput mencatat mereka yang terhapus atau dihapus dan yang terbuang.Sejarah Indonesia yang ditulis rezim pasca G30S PKI 1965 menghilangkan sejumlah nama, salah satunya Francisca Fanggidaej -- sosok yang berperan penting dalam diplomasi kemerdekaan republik ini. Fanggidaej terbuang, meninggalkan tujuh anaknya selama 38 tahun, melanglang dari satu ke lain negara dan meninggal di Belanda, tempat menetap terakhirnya.Setelah hampir 60 tahun, kisah Fanggidaej ditulis media online, didaur ulang berkali-kali, dan dinarasikan sejumlah orang di TikTok. Informasi tentang Fanggidaej sedemikian populer karena ada sosok ngetop masa kini yang terkait dengannya, yaitu aktor Reza Rahardian.Francisca Fanggidaej adalah nenek Reza Rahardian. Mungkin, inilah waktu bagi Francisca Fanggidaej untuk mengklaim tempatnya dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. GelijkgesteldFrancisca Casparina Fanggidaej, seperti ditulis satu situs yang mengkhususkan diri pada sejarah, lahir di Noel Mina, Pulau Timor, 16 Agustus 1925, sebagai anak keempat pasangan Gottlieb Fanggidaej dan Magda Mael.Gottlieb Fanggidaej bekerja di Burgelijke Openbare Warken (BOW), atau Dinas Pekerjaan Umum, sebagai hoofdopzichter (pengawas). Magda Mael, ibunya, ibu rumah tangga biasa.Dalam pengakuannya kepada Hersri Setiawan, dan ditulis dalam Memoar Perempuan Revolusioner (2006), Francisca Fanggidaej menyebut diri 'Belanda Hitam' karena berstatus gelijkgesteld atau setara anak kulit putih yang berasal dari ayah yang dianggap 'dianggap' Belanda dan ibu berasal dari Pulau Timor.Status gelijkgesteld membuat Francisca Fanggidaej menempuh pendidikan di sekolah untuk anak-anak Belanda. Ia bersekolah di kota-kota tempat ayahnya ditugaskan; Europeesche Lagere School (ELS) di Madiun, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Hoogere Burgerschool (HBS) di Malang, dan mendapat diploma darurat karena sekolah-sekolah Belanda ditutup saat Jepang datang.Status gelijkgesteld 'memaksa' Francisca Fanggidaej sehari-hari berbicara dalam Bahasa Belanda, tapi tak pernah bisa membuatnya berbaur dengan anak-anak kulit putih. Sekat ras dan warna kulit memisahkan Francisca Fanggidaej dengan semua teman Belanda di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari.Namun, Fanggidaej merasa diperlakukan berlebihan oleh para 'kuli' pribumi yang bekerja dalam pengawasan sang ayah. Situasi ini membuat Fanggidaej sampai pada kesimpulan bahwa status gelijkgesteld dilekatkan penjajah kepada pribumi untuk membentuk watak penindas. Artinya, orang Belanda -- lewat pemberian status itu -- sedang membentuk pribumi yang menindas pribumi. Marx HouseStatus gelijkgesteld lenyap seketika setelah Jepang datang. Fanggidaej saat itu berada di Surabaya, tepatnya di Jl Slamet -- di belakang kantor Kaigun, atau Angkatan Laut (AL) Jepang. Gottlieb Fanggidaej meninggal tak lama setelah Jepang datang.Magda Mael, sang ibu, mengambil alih tanggung jawab keluarga dalam urusan mendapatkan penghasilan. Ia berjualan kue, sabun, dan pasta gigi buatan sendiri. Francisca Fanggidaej menjajakan barang-barang itu dari rumah ke rumah menggunakan sepeda.Jika tak menjajakan barang-barang itu, Francisca Fanggidaej memilih mengurung diri di rumah karena sebutan Belanda Item, atau Belanda Hitam, yang melekat pada dirinya menjadi bumerang. Pribumi seolah bebas melampiaskan kebencian kepada semua etnis yang menjadi anak emas Belanda.Prof Dr Gerrit Augustinus Siwabessy, populer dalam sejarah Indonesia dengan sebutan GA Siwabessy, salah satu pelanggan Francisca Fanggidae. Rumah GA Siwabessy tak ubahnya 'sekolah politik', karena secara rutin menggelar diskusi kebangsaan yang diikuti orang-orang Maluku.Di rumah itu, Francisca Fanggidaej berkenalan dengan Sam Malessy -- sosok yang mengajarkan Bahasa Indonesia. Francisca Fanggidaej larut dalam setiap diskusi di rumah GA Siwabessy, dan memutuskan menjadi anggota Pemuda Indonesia Merdeka (PIM).PIM melebur ke dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI) dan berkongres kali pertama di Yogyakarta pada 8-10 November 1945. Francisca Fanggidaej menjadi utusan PIR.Kongres PIR ditutup dengan kesepakatan tujuh organisasi untuk berfusi menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Francisca Fanggidaej terlibat di Badan Penerangan dan Bada Keputrian DPP Pesindo. Bersama Maruto Darusman, ia bertanggung jawab atas siaran Bahasa Belanda dan Inggris Radio Gelora Pemuda milik Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI).Di sinilah Francisca Fanggidaej memainkan peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Proklamasi RI dinarasikan dalam dua bahasa internasional, didengar dunia, dan membuka jalan bagi perjuangan putra-putra terbaik RI di luar negeri.Sebagai bagian DPP Pesindo, Francisca Fanggidaej mengikuti pendidikan di asrama bernama Marx House, atau Rumah Marx. Marx mengacu pada Karl Marx, bapak sosialis/komunis. Di Marx House, Fanggidaej berkenalan dengan kalimat 'sama rasa, sama rata' yang kerap disampaikan Mas Marco Kartodikromo.Kemampuan Bahasa Inggris dan Belanda membawa Fanggidaej hadir di dua konferensi internasional tingkat dunia antara 1947-1948, yaitu World Federation of Democratic Youth (WFDY) dan The 1st World Youth and Student Festival di Praja, Cekoslovasia, dan Kalkuta, India.Kehadirannya menegaskan eksistensi Indonesia di kancah internasional sebagai negara merdeka. Ia menyuarakan kecaman terhadap imperialisme Barat, dan menyebut Perjanjian Renville sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Indonesia.Saat Fanggidaej berada di Kalkuta, Peristiwa Madiun meletus. Pesindo terlibat dalam pemberontakan komunis yang dengan mudah diberangus. Saat Fanggidaej kembali ke Indonesia, pemerintah Indonesia segera menangkap dan menjebloskannya ke Penjara Gladak di Surakarta.Ia lolos dari hukuman mati karena sedang hamil. S Karno, suami pertamanya, tak beruntung. Bersama PM Amir Sjarifuddin dan sejumlah tokoh lainnya, S Karno dihukum mati. Pesindo mati suri, alias tidak berkibar lagi. TerbuangPesindo berubah nama jadi Pemuda Rakyat dan dideklarasikan sebagai organisasi sayap PKI. Fanggidaej menjadi pemimpin umum II. Pemimpin Umum I adalah Ir Setiadi. Ia juga terlibat dalam Organisasi Internasional Setiakawan Rakyat Asia Afrika (OISRAA), Komite Perdamaian (World Peace Council), dan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) -- organisasi yang dituding berperan dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya.Kemampuan berbicara dalam dua bahasa membuat Fanggidaej tak kesulitan menjadi wartawan kantor berita Antara, tapi dengan status lepas atau tak terikat. Ia kerap diminta mewawancarai tokoh-tokoh hebat di luar negeri. Salah satunya Jamila, perempuan dalam perang kemerdekaan Alzajair melawan Prancis. Ia juga menjadi redaktur pelaksana Indonesian National Press Service (INPS).Hanya dua tahun Fanggidaej menjadi wartawan karena Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai anggota DPR-GR sebagai wakil golongan wartawan. Di DPR GR, Fanggidaej duduk di Komisi Luar Negeri, di bawah pimpinan Manai Sophiaan.Tahun 1964 Presiden Soekarno mengangkat Fanggidaej sebagai penasehat presiden. Ia banyak menemani Soekarno dalam perjalanan ke luar negeri. Salah satunya ke Kuba dan bertemu Fidel Castro.Tahun 1965, Fangidej menghadiri Konferensi Perdamaian Dunia di Helsinki, Finlandia, lalu berangkat ke Cile untuk menghadiri Kongres Organisasi Wartawan Internasional. Saat berada di Santiago, ibu kota Cile, inilah G30S PKI meletus.Fanggidaej tak berani pulang. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan Supriyo, suami keduanya yang juga wartawan, dan tujuh anaknya. Ia juga tak tahu bagaimana Supriyo dibawa tentara, anak-anaknya diselamatkan keluarga dekat, rumahnya disita dan seluruh isinya dijarah.Supriyo dijebloskan ke penjara tanpa diadili dan mendekam selama 12 tahun. Anak-anaknya hidup dalam ketakutan konstan akibat stigma anak PKI. Nun jauh di luar negeri, Fanggidaej berjuang sendirian setelah paspor-nya dicabut.Fanggidaej sempat hidup di Kuba. Setelah Fidel Castro memberinya paspor, ia berangkat ke Cina dan hidup selama 20 tahun. Semua tanpa tanpa sepengetahuan anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa.Tahun 1985, Fanggidaej keluar dari Cina dan melanjutkan hidup di Belanda. Dari negara inilah kepastian nasib Fanggidaej sampai kepada anak-anaknya di Indonesia. Mulailah ibu dan anak saling berkirim surat. Tahun1993 Mayanti Trikarini, salah satu putri Finggadaej, berangkat ke Zeist -- kota di Belanda tempat sang ibu bermukim -- untuk bertemu. PulangSetelah Orde Baru runtuh, Presiden Gus Dur menawarkan para eksil -- kata untuk menyebut mereka yang terbuang -- untuk pulang. Tahun 2003, Fanggidaej menginjakan kaki di Indonesia kali pertama dalam 38 tahun. Namun ia tak ingin menetap di Indonesia.Fanggidaej kembali ke Belanda dan melanjutkan hidup sampai ajal menjemput pada 13 November 2013.Kini, bagaimana pemerintah yang terbentuk dari hasil reformasi menempatkan Fanggidaej dalam sejarah Indonesia? Kita tidak tahu. Yang pasti masih ada beban masa lalu yang belum sirna ketika republik ini harus menulis ulang sejarahnya, dan memberi tempat kepada mereka yang pernah terbuang.Pertanyaannya berapa generasi lagi kita harus menunggu untuk melihat nama-nama pahlawan terbuang tertulis di buku sejarah?

Francisca Fanggidaej: Nenek Aktor Reza Rahardian, Pahlawan Diplomasi Kemerdekaan RI yang Terbuang

Berita Terkait

Berita Rekomendasi