Jakarta, REQNews.com -- Dua foto produksi KITLV dan G Kolff &amp; Co mencerminkan dua budaya buang air besar (BAB) alias berak warga Batavia pribumi dan kulit putih di Batavia era abad ke-19 sampai abad ke-20.Foto pertama adalah jamban penduduk pribumi yang terdapat di Sungai Ciliwung. Foto diambil tahun 1908, dan kemungkinan di sekitar Kwitang.Foto kedua adalah badhuisje, kata dalam Bahasa Belanda yang artinya rumah mandi. Orang kita biasa menyebutnya kamar mandi. Namun, badhuisje di tepi kanal Molenvliet ini -- lokasi persisnya di Jl Gajah Mada -- adalah jamban, bukan kamar mandi. Berak di EmberAlkisah ketika Jan Pieterzoon Coen membangun Batavia, orang kulit putih belum kenal toilet. Jaringan kanal yang dibuat Coen tidak hanya berfungsi sebagai sarana transportasi air, tapi juga pembuangan tinja.Setiap hari, penduduk Batavia -- kulit putih, budak, Tionghoa, dan pribumi berbagai etnis -- BAB di ember, cebok di belakang rumah, dan buang tinja ke kanal.Tahun 1700-an, menurut Heru Mulyanto dalam Perkembangan Kanal Oud Batavia Abad XVII-XX: Tinjauan Sejarah Perkotaan, kebiasaan itu memicu bencana. Kanal mengalami pendangkalan hebat, tinja tak terurai menimbulkan bau tak sedap dan penyakit kolera.Batavia yang semula berjuluk Ratu dari Timur mendadak berstatus Kuburan Bagi Orang Belanda. Lingkungan rawa-rawa di sekitar Batavia menebar bencana lain, yaitu malaria. Sebanyak 2.434 dari 5.662 jiwa penduduk Batavia menemui ajal akibat kolera dan malaria.Padahal, pemerintah Batavia telah memperkenalkan apa yang disebut Negenuursbloemen, kata dalam Bahasa Belanda yang artinya Bunga-bunga Pada Pukul 9 Malam. Pengertian sebenarnya adalah kebijakan untuk membuang tinja pada malam setelah pukul 21:00.Jadi, penduduk Batavia yang berak pagi atau siang harus menyimpan tinja-nya di dalam ember untuk dibuang pada malam hari. Saat pembuangan terjadi serempak, malam di Batavia berselimut bau tokai menyengat. Jamban PribumiKebijakan Negenuursbloemen sebenarnya diterapkan sejak 1630, tapi gagal. Salah satu penyebabnya adalah Gubernur Jenderal Albertus van der Parra punya kebiasaan beol sembarangan. Ia tak mematuhi peraturan berak di ember dan membuang tinja malam hari, tapi pergi ke pinggir kanal dan buang hajat kapan pun dia mau.Di pinggir Weltevreden pada abad ke-18, penduduk pribumi di kampung-kampung memperkenalkan apa yang disebut jamban; bangunan segi empat di pinggir kali, tertutup setengah badan, dengan akses jembatan kecil. Ada yang membangun jamban berderet tiga atau empat, jika penduduk kampung cukup banyak.Orang Belanda, menurut Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indis dari Zaman Kompeni sampai Revolusi, mencomot begitu saja budaya jamban pribumi dan menyesuaikannya dengan gaya Barat. Jamban dibuat permanen, berupa bangunan batu bata menjorok ke kali.Menariknya, orang Belanda menyebutnya badhuijse atau rumah mandi. Padahal, fungsi badhuijse hanya untuk beol, bukan mandi. Setelah 1850-an, bandhuijse bertebaran di pinggir Molenvliet dan kanal-kanal lain. Batavia jadi kota jamban.Muncul larangan membangun badhuijse di pinggir kanal. Sebagai gantinya, diperkenalkan speelhuis. Arti harfiah speelhuis adalah rumah bermain.Speelhuis dibangun di halaman rumah, dengan tinja dialirkan ke kanal di seberang jalan depan rumah melalui pipa. Jika jarak rumah jauh dari pinggir kanal, jumlah pipa yang dibutuhkan ya cukup panjang.Belakangan speelhuis berkembang menjadi speelhuis en washbook, artinya kamar mandi, beol, dan cuci. Rumah Reinier de Klerk, gubernur jenderal VOC, adalah yang kali pertama memiliki speelhuis en washbook. Rumah itu dibangun 1780, dua dekade sebelum VOC bangkrut. Septic TankMemasuki abad ke-20, Thomas Karsten -- arsitek yang membangun Semarang -- memperkenalkan septic tank dan toilet di dalam rumah. Rumah Reinier de Klerk sekali lagi menjadi yang pertama menggunakan keduanya.Tahun-tahun berikut, pembangunan septic tank sedemikian masif. Namun, badhuijse di pinggir kanal masih ada karena tak semua warga kulit putih punya uang untuk bangun septic tank dan beli toilet.Di pinggir Batavia, budaya kota Batavia tak menjangkau masyarakat pribumi di kampung-kampung. Jamban masih terpelihara. Jika tak ada sungai, jamban dibangun di atas empang. Penduduk kampung tak dekat kali dan tak punya empang, ya modol di kebon.Menariknya, pemerintah Hindia Belanda tak pernah melarang jamban. Mungkin karena mereka berhutang budaya pada jamban pribumi.

Ketika Gubernur Jenderal VOC Buang Air Besar di Ember, Pribumi Perkenalkan Jamban

Berita Terkait

Berita Rekomendasi