Jakarta, REQNews.com -- Dalam laporan perjalanan ke daerah Badui, Java Bode edisi 31 Oktober 1888 menulis; "Di sini, di dataran tinggi Balagandang, Njai Gamparan dan pasukannya melarikan diri. Dari Balagandang Njai Gamparan begerak ke Tangerang dan ditangkap Demang Raden Karta Natanegara di Tangerang."Tahun 1938, Bataviaasch nieuwsblad edisi 21 Maret, melaporkan pertunjukan sandiwara lakon Njai Gamparan di Gedung I.E.V di Vrijmetselaarsweg, kini Jl Budi Utomo, Jakarta Pusat, yang digelar Poetra Poetri Banten dan Persatoean Olahraga Jong Banten. Disebutkan lakon Njai Gamparan empat babak itu adalah adaptasi cerita sejarah karya Pangeran Achmad AA Djajadiningrat.Dua laporan koran Hindia-Belanda itu telah cukup untuk membuktikan betapa Njai Gamparan, perempuan dari Cikande Udik yang melawan tanam paksa, masih dikenang masyarakatnya sekian puluh tahun setelah perlawanannya selesai. Kisahnya tidak hanya ditulis, tapi dinarasikan dari mulut ke mulut oleh penduduk Banten. Cikande: Daendels, Raffles, Van den BoschAris Muzhiat, dalam tesis berjudul Gerakan Sosial Masyarakat Banten Abad ke XIX: Gejolak Ekonomi, Politik dan Agama, 1808-1845, mengawali kisah Njai Gamparan dengan lebih dulu menggambarkan situasi Cikande tahun 1930-an. Cikande, menurutnya, adalah onderdistrik di perbatasan Kresidenan Banten dan Kresidenan Batavia, dan dilewati Jl Raya Pos yang menghubungkan Serang, Tangerang, dan Batavia.Cikande adalah wilayah Kesultanan Banten yang dicaplok Gubernur Jenderal Herman William Daendels tahun 1808. Perubahan status ini berdampak luar biasa bagi penduduk. Hubungan primordial penduduk Cikande dan Kesultanan Banten terputus, berganti menjadi hubungan dengan pemerintah kolonial.Setelah Daendels pergi, dan Pulau Jawa jatuh ke tangan Inggris, Sir Thomas Stanford Raffles -- letnan gubernur jenderal saat itu -- menemukan cara mudah mendapatkan uang untuk membiayai jalannya pemerintahan, yaitu dengan menjual tanah ke investor swasta.Inggris menjual Cikande Udik ke Jessen Trail &amp; Co dan Cikande Ilir ke Deans Scott &amp; Co. Yang terjadi berikutnya adalah penduduk menemukan dirinya berhubungan dengan tuan tanah (landheer).Segalanya menjadi lebih rumit setelah Inggris pergi, dan Pulau Jawa kembali menjadi koloni Belanda. Pengalihan Cikade Udik dan Ilir ke dua perusahaan swasta tak tuntas. Artinya, Inggris tak sempat merampungkan legalitas dua bidang tanah itu. Akibatnya, hubungan penduduk dan tuan tanah semakin rumit.Tahun 1823, Gubenur Jenderal Hindia-Belanda Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan semua desa di Cikande Udik dan Ilir menjadi milik negara, dan pemerintah Hindia-Belanda berhak menguasai desa-desa, termasuk penduduknya. Namun, Van der Capellen menghabiskan jutaan gulden agar dua perusahaan Ingris melepas tanahnya.Itu tidak memuaskan pemerintah Kerajaan Belanda. Van der Capellen dicopot. Ia digantikan Van den Bosch yang piawai meyakinkan Kerajaan Belanda bahwa dirinya punya resep menarik menjadikan Pulau Jawa ladang uang.Tahun 1830 dimulailah masa penjajahan Belanda sebenarnya. Van den Bosch menerapkan tanam paksa, mengubah Pulau Jawa menjadi perkebunan raksasa, yang menghasilkan komoditi ekspor skala besar. Sebanyak dua per lima tanah desa harus ditanam tanaman produksi, dan penduduk terkena kerja wajib tanpa upah.Di level bawah, peraturan yang dibuat bupati dan pegawai pemerintah semakin mencekik rakyat. Maklum, para bangsawan bikinan Belanda dan pangreh praja juga ingin menikmati keringat rakyat agar hidup mereka lebih makmur.Dalam situasi ini, tidak ada kata selain melawan, meski untuk semua itu nyawa dan hukuman berat adalah taruhannya. Rakyat di sekujur Pulau Jawa seolah menunggu orang yang bisa dipercaya memimpin mereka melawan ketidakadilan kolonial.Di Banten, situasi ini dimanfaatkan elite pribumi untuk memprovokasi rakyat. Akibatnya, pemberontakan dalam skala kecil -- lebih tepatnya skala desa -- merebak di banyak tempat. Tidak terkecuali di Cikande. Saliah Si Perempuan Bersandal KayuPada 16 Agustus 1836, Balaraja kedatangan seorang perempuan bernama Saliah. Kepada penduduk, Saliah mengaku berasal dari Kampung Melayu, Tangerang. Penampilannya menyita perhatian masyarakat karena menggunakan sandal kayu, atau gampar. Maklum, penduduk kampung saat itu tak mengenakan alas kaki.Saliah mengaku memiliki ilmu mistik dan punya pengetahuan keagamaan tentang akan datang kehidupan lebih baik jika mampu mengusir orang kafir dan mengembalikan Kesultanan Banten.Gagasan milenarisme, demikian Aris Muzhiat menyebutnya, mendapapat respon positif di kalangan masyarakat tertindas tanam paksa. Sejak itu Saliah berubah nama menjadi Njai Gamparan. Ada pula yang menyebutnya Nyimas Gamparan. Sandal kayu yang dikenakan perempuan itu adalah identitasnya.Njai Gamparan menghimpun semua kalangan; petani, begundal, dan tuan tanah pribumi, dari sekujur Cikande Ilir. Bersenjatakan apa saja, mereka menyerang kantor polisi terdekat. Kalah jumlah, polisi kolonial melarikan diri.Penyerangan dilanjutkan ke kantor polisi Balaraja. Letnan Latjor, didampingi petugas partikelir Balaraja, mencoba melawan dengan menembakan senjata. Perlawanannya sia-sia. Massa sedemikian banyak dan beringas terus maju. Letnan Latjor terbunuh.Sukses menguasai Cikande Ilir, Nyai Gamparan mendapat tambahan dukungan dari penduduk Cikande Udik. Ia juga menghimpun pendukung dari tanah parikelir dan desa-desa lain yang dilewati, seperti Rangkasbitung, Rawayan, Balangungang, dan Sajira.Pada 23 Agustus 1836, Nyai Gamparan menggerakan pasukannya ke Serang. Tujuannya, merebut kekuasaan dari tangan kolonial, dan mengangkat Pangeran Tambak, seorang keturunan Sultan Banten, menjadi penguasa Kesultanan Banten yang baru.H Cornets de Groot, residen Banten, mendapat laporan gerakan Nyai Gamparan ke Serang, dan memerintahkan kesatuan Jayengsekar berangkat ke Gemuru untuk menghadapinya. Perintah De Groot sederhana, yaitu tangkap Nyai Gamparan.Terjadi pertempuran tak seimbang dari segi senjata. Pasukan Nyai Gamparan bertumbangan diterpa peluru. Nyai Gamparan, bersama sisa pasukannya, melarikan diri ke hutan kawasan Lebak, dan bergerak ke Tangerang untuk menghindari pengejaran.Tak ingin mengerahkan pasukan dalam jumlah besar untuk mengejar Nyai Gamparan, De Groot menugaskan Raden Kartanata Nagara, Demang Jasinga, dengan imbalan diangkat menjadi Bupati di Lebak. Raden Kartanata Nagara mengerahkan pasukannya, mengejar Nyai Gamparan ke Tangerang.Nyai Gamparan tertangkap dan dibawa ke Serang. Landraad, pengadilan pribumi, menghukum mati Nyai Gamparan. De Groote memenuhi janjinya; mengangkat Raden Kartanata Nagara sebagai bupati Lebak dengan gelar Raden Adipati. Kelak, Eduward Douwes Dekker alias Multatuli mengabadikan Raden Adipati Kartanata Nagara sebagai bupati korup dalam buku Max Havelaar. Pengaruh Nyai GamparanNyai Gamparan telah tiada, tapi semangat perlawanan yang ditanamkan ke peduduk tidak mati. Tahun 1845, setelah kegagalan panen beruntun, administrator tanah Kresidenan Banten menaikan pajak untuk menutup defisit akibat kegagalan panen tahun-tahun sebelumnya.Administrator, teks Belanda menyebutnya Mr Pes, berhadapan dengan penduduk yang marah tapi dia berusaha tegas dengan mengatakan yang punya masalah dengan kebijakan ini silahkan tinggalkan Cikande Udik. Bagi petani, tidak ada solusi selain melawan. Namun, mereka tidak punya sosok yang ditokohkan.Dalam situasi itu muncul orang bernama Sarientan, warga Rangkas Kole, Cikande Udik, yang katanya masih keturunan Sultan Banten. Ia dihormati penduduk Cikande Udik. Ia piawai mempengaruhi penduduk tertindas, terutama di kalangan murid-murid pengajiannya.Seperti Nyai Gamparan, Sarientan menanamkan gagasan milenarisme untuk membangkitkan perlawanan petani dan orang-orang berpengaruh dari luar Cikande, seperti Mas Endong dan Mas Riela dari Kampung Cikupa dan Kebon Jeruk, Mas Ubied dari Kampung Kolle, dan sejumlah kerabat Mas Djakaria yang terbakar dendam kepada pemerintah kolonial.Belum cukup dengan semua itu, Sarientan membujuk Bajaoekoe, dan Ma'rup -- mantan mandor Cikande Ilir. Ma'rup dikabarkan menghimpun 100 penduduk desa untuk ikut dalam gerakan.Pada 12 Desember 1845, Sarientan bergerak ke rumah PSJ Kamphuis, pemilik tanah Cikande Udik. Namun sebelum sampai ke alamat yang dituju, Sarientan 'mampir' ke rumah Mr Pes. Sang empunya rumah keluar dengan pistol di tangan, pemberontak menyerangnya. Mr Pes tewas di tempat dan mayatnya dibuang ke sungai.Dari rumah Mr Pes, Sarientan dan pengikutnya bergerak ke rumah Kamphuis. Sekali lagi, sang tuan rumah tanpa kesulitan ditumbangkan. Setelah itu terjadi pembantaian. Mr Viering, seorang kontrolir, mencoba lari tapi dibantai di sawah. Istri Kamphuis dan lima pembantu tak luput dari sabetan kelewang, golok, dan hantaman tombak. Tiga anak Kamphuis, salah satunya masih bayi, selamat dari amuk pengikut Sarientan berkat kesigapan seorang kepala cutak, atau camat.Gerakan Sarientan benar-benar menyasar penduduk kulit putih dan antek-anteknya. Namun, tidak seluruh antek kulit putih bisa mereka bunuh. Beberapa dari mereka lari ke Tangerang dan melaporkan kejadian yang dialami tuan-tuan mereka.Mereka yang selamat dari serangan pengikut Sarientan melaporkan kejadian itu sebagai perampokan. Residen Banten melihat peristiwa itu bukan perampokan biasa, tapi pemberontakan. Ia memobilisasi pasukan di Serang, meminta bantuan dari Pandeglang dan Anyer. Bahkan meminta bantuan ke pelaut Bugis yang bermukim di Pulau Panjang.Pada hari-hari berikut, Sarientan bukan lagi pemimpin tunggal. Mas Anum, Mas Djebeng, Mas Serdang, Mas Semarang, dan Nyai Anjun -- semuanya putra-putri pemberotak Mas Djakaria -- memimpin pasukan masing-masing untuk menguasai Pandeglang.Di Cikande Udik, Sarientan membentuk struktur kepemimpinan yang akan mengambil alih Banten. Sebelum itu terjadi, Residen Serang memimpin langsung pasukannya menyerang Cikande Udik.Pertempuran berlangsung singkat. Ini disebabkan setiap pemberontak yakin kebal senjata dan berlari menyongsong peluru. Semua yang berada di barisan depan bertumbangan dan tewas di tempat. Hanya Amier, pengikut Sarientan sejak awal, yang tidak tumbang dan terus maju sampai akhirnya tertangkap tanpa luka tembakan di tubuh.Pemberontak yang berada di barisan belakang berbalik badan dan lari setelah tahu jimat yang membuat mereka kebal peluru tak terbukti. Setelah itu pengejaran, penangkapan, dan interogasi dengan metode kejam untuk mengorek informasi seberapa besar gerakan Sarientan.Hasilnya, gerakan ini telah meluas sampai ke perbatasan Batavia. Semua peristiwa perampokan dan serangan terhadap penduduk kulit putih di kawasan Banten sampai perbatasan Batavia saling berkaitan.Residen Serang segera memerintahkan penangkapan pemimpin pemberontak di perbatasan Batavia, yang tak lain adalah Nyai Perbata -- ibu kandung Nyai Gamparan. Tidak diketahui di mana Nyai Perbata ditangkap.Pada 15 Agustus 1846, Landraad di Lebak menjatuhkan hukuman mati kepada 25 orang yang terlibat dalam pembunuhan, salah satunya Sarientan. Sebanyak 136 diasingkan dan kerja paksa. Di antara yang diasingkan adalah seluruh putra-putri Mas Djakaria, kepala desa dan wakil kepala desa yang tak melaporkan terjadinya pemberontakan. Nasib Nyai Perbata tak diketahui, tapi kemungkinannya adalah dia diasingkan. Milenarisme yang Tetap HidupNyai Gamparan dan Sarientan telah gagal, tapi gagasan milenarisme tetap terjaga di belakang kepala setiap generasi orang Banten. Itu terlihat dengan munculnya Gerakan Haji Wasid, yang bersama elite bangsawan bernama Tubagus Ismail dan pemimpin agama Haji Usman, Haji Abdul Gani, dan Haji Nuriman, menggerakan apa yang disebut Geger Cilegon pada tahun 1888.Menariknya, perlawanan itu juga berakhir dengan cara yang sama, yaitu kepercayaan terhadap jimat yang membuat orang kebal peluru serta ketiadaan pengetahuan militer untuk menghadapi pasukan terorganisir. Meski demikian perlawanan rakyat Banten selalu ada di setiap generasi.Tahun 1926, misalnya, gerakan rakyat Banten dengan muatan ideologi komunis terjadi. Setelah Belanda kembali dan menduduki Batavia tahun 1946, Jenderal Spoor -- pemimpin militer tertinggi Belanda saat itu -- memberi perhatian khusus kepada Banten. Ini terlihat dari keputusannya menaklukan Pesing dan Tjengkareng, untuk membuka jalan ke wilayah Banten.

Nyai Gamparan: Perempuan Bersandal Kayu Penentang Tanam Paksa

Berita Terkait

Berita Rekomendasi