Jakarta, REQNews.com -- Sepanjang September 1892, De locomotief -- koran bisnis dan perdagangan terbitan Semarang -- menurunkan tulisan 16 seri tentang Land Tjiomas, tapi hanya sedikit berbicara tentang Landhuis Tjiomas. Itu pun terbatas pada letak landhuis dan situasi sekelilingnya. Tidak ada informasi kapan landhuis dibangun dan siapa pembangunnya."Rumah pedesaan itu terletak di ujung utara Land Tjiomas di jalan menuju Banten. Tentu bukan tempat yang cocok untuk pengelolaan 'negara' yang terbentang jauh ke selatan dengan luas 40.718 bouw atau 28.895 hektar. Di sekitar rumah itu ada rumah tjamat, kepala adat yang membawahi polisi penjaga land. Beberapa menit berjalan dari Landhuis Tjiomas ke Tjiblagoeng terdapat gudang beras, sebuah bangunan batu dengan lantai luar yang luas untuk mengeringkan padi. Terhubung dengan Landhuis Tjiomas terdapat rumah perwakilan surat kabar Hindia-Belanda dan kantor untuk karyawan pribumi dan kulit putih," tulis De locomotief.Tidak ada tinjauan arsitektur atau deskripsi lengkap tentang Landhuis. Saat De locomotief berkunjung, rumah pedesaan itu dihuni Nyonya Janda JWE Sturler, pemilik Land Tjiomas paling populer berkaitan dengan Pemberontakan Petani tahun 1886, dan berbagai peristiwa lain yang menyertainya.Jauh sebelumnya, Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage edisi 4 November 1886 menurunkan berita konflik di Land Tjiomas, dengan nama Landhuis Tjiomas disebut beberapa kali. Beberapa koran Hindia-Belanda juga menyebut Landhuis Tjiomas dalam berita protes petani, kerusuhan, dan pemberontakan.Landhuis Tjiomas sebagai rumah pedesaan yang indah, dengan suasana indah di dalamnya, hanya sekali ditampilkan dalam berita De Indische courant edisi 19 Februari 1941, ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda AWL Tjarda van Starkenborgh-Stachouwer dan Nyonya melakukan kunjungan mingguan ke Buitenzorg untuk melihat langsung stasiun pengujian Boschbouw.Koran itu menulis; "Di akhir kunjungannya, Gubernur Jenderal Van Starkenborgh-Stachouwer diterima di taman indah Landhuis Tjiomas. Putri Dr HE Wolf von Wulfing, direktur stasiun pengujian Boschbouw, memberikan karangan bung."Hanya ada dua foto Landhuis Tjiomas. Pertama, foto bertahun 1905 yang disimpan digitalcollections.universiteitleiden.nl. Itu pun hanya foto Ny Janda JWE Sturler, sang ahli waris, Tuan dan Nyonya Rundolph, dan Nyonya Sol -- putri mantan perwira KNIL bernama EPC Sol dan dan menantu JWE Sturler. AL de Sturler, putra JWE Sturler yang akrab dipanggil Pol, secara berkala mengujungi Landhuis Tjiomas.Kedua, foto koleksi KITLV yang digunakan Ronald Frisart dalam artikel Bloedige Tjiomas-affaire (1886) blijft de geesten verdelen di situs historiek.net. Keterangan foto tahun 1890 itu hanya menyebut Onderneming Tjiomas dengan Sungai Tjisadane di latar depan dan Gunung Salak di bagian belakang. Frissart tak menyebut bangunan-bangunan yang tampak dalam foto. Kuat dugaan salah satu bangunan beratap joglo adalah landhuis, bangunan lainnya adalah rumah tjamat dan kepala adat, serta satu gudang dengan bentuk panjang. 'Negeri' Indah, Landhuis BerdarahLand dan Landhuis Tjiomas seolah bukan tanah partikelir yang layak ditulis panjang dan dikenang sebagai sesuatu yang indah dari era kolonial. Keduanya menyimpan cerita kelam tentang 'kerakusan' tuan tanah yang menimbulkan amarah dan berakhir dengan darah. Menariknya, konflik itu tidak terjadi di tengah perjalanan sejarahnya tapi sejak kali pertama terbentuk.Di era VOC, tanah sekujur Bogor adalah 'jatah' gubernur jenderal dan ahli warisnya yang tidak boleh dipecah-pecah. Gubernur Jenderal Baron van Imhoff adalah yang kali pertama menikmati fasilitas ini, yang membuatnya mendirikan Istana Buitenzorg. Setelah Van Imhoff meninggal, ahli warisnya berada di luar negeri. Sesuai peraturan, ahli waris di luar negeri tidak boleh menerima warisan. Akibatnya, tanah sekujur Bogor kembali ke VOC.Jacob Mossel menjadi gubernur jenderal VOC yang memiliki tanah sekujur Bogor, tapi muncul peraturan baru dari Hoge Regeerings. Bahwa tanah sekujur Bogor akan jatuh ke gubenur jenderal berikut dengan cara membeli sesuai harga yang dibayarkan gubernur jenderal sebelumnya. Misal, jika Mossel menebus tanah itu 35 ribu rijksdalder, dia harus menjualnya dengan harga sama kepada penggantinya.Tahun 1808, Herman Willem Daendels datang ke Pulau Jawa dan menjadi gubernur jenderal. Ia membeli tanah sekujur Bogor dari Albertus Henricus Wiese, gubernur jenderal sebelumnya, dengan harga 39 ribu rijksdalder melalui surat pembelian 6 April 1808. Sebagai orang berkuasa, Daendels mengubah aturan, dan disetujui Wouter Hendrik van Ysseldijk dan Willem Vincent Helvetius van Riemsdijk, anggota luar biasa dan biasa Dewan Hindia, yaitu membagi sekujur tanah Bogor menjadi sembilan bidang dan menjualnya.Sembilan bidang itu adalah Tjiomas, Tjidjeroek, Dramaga, Sindangbarang, Tjiawie, Pondok Gedeh, Kampoeng Baroe, Tjiseroa (Cisarua - red), dan Buitenzorg (khususnya Bloeboer). Daendels menjual kepada publik delapan bidang tanah, dan mempertahankan Buitenzorg untuk dirinya. Delapan bidang tanah itu jatuh ke tangan empat orang; Pieter Engelhardt, Nicolaas Engelhardt, WI Cransen, PWA van Riemsdijk, yang membentuk kongsi.Tahun 1818, perkongsian empat tuan ini bubar. WI Cransen menguasai Tjiomas sampai kematiannya pada 16 Agutus 1821 dan dimakamkan di Tjinere. Selama menjadi tuan di Tjiomas, dan di sejumlah tanah lainnya, Cransen kerap berkonflik dengan Dewan Hindia dan tuan-tuan yang pernah berkongsi dengannya. WL Cransen, putra WI Cransen, mewariskan Tjiomas dengan semua persoalannya. Dalam seri kedua tulisan De locomotif, terbit 28 September 1892, WL Cransen disebut-sebut tercatat sebagai daftar wajib pajak tanah partikelir Tjiomas.WI Cransen menerapkan apa yang disebut dengan 'padjek', yang menimbulkan konflik dengan penduduk. Di sisi lain, penduduk diharuskan mengurus dan mengawasi perkebunan kopi tanpa mendapat upah. Padjek harus dibayar dari hasil panen padi dan tanaman lain. Jadi, menanam padi untuk bayar padjek dan mengurus 250 tanaman kopi per orang tanpa upah.Ketegangan terjadi ketika hasil kebun kopi jatuh. Penduduk tak ingin dipersalahkan. Di sisi lain, penduduk juga keberatan dengan 'padjek' yang dibebankan. Saat itu tahun 1823, diadakan penyelidikan untuk meredakan ketegangan. Tjoetak (Tjamat - red) menyimpulkan Tjiomas sama sekali tidak cocok untuk budidaya kopi. Diusulkan untuk tidak menanam kopi di Tjiomas tapi di Tjiseroa (Tjisarua - red).Johannes Stevens mengambil alih Tjiomas. Ia mengabaikan usulan Tjoetak, dan tetap menanam kopi. CHF Riesz, sang administrator, menyetujuinya. Ia mengubah peraturan yang memberatkan petani, dengan tidak menerapkan kerja wajib di lahan pertanian selain kopi. Hasilnya, kopi tumbuh bagus tapi hasil tak memenuhi kuota. Artinya, Stevens tidak berhak menandatangani kontrak pengadaan kopi untuk tahun-tahun berikut.Sebagai administrator, CHF Riesz dianggap berhasil meredam ketegangan di kalangan petani. Itulah yang membuat Johann Wilhelm Edouard (JWE) de Sturler, orang Swiss yang mantan pengurus pabrik gula di Djepara, bersemangat mengambil alih Tjiomas tahun 1867. Ia tiba di Tjiomas pada 30 Oktober tahun yang sama dan mengambil alih manajemen.De Sturler diyakini membangun Landhuis Tjiomas, karena yakin akan bisa hidup di tanah pertanian tanpa gangguan. De locomotief memberitakan De Sturler membayar jauh lebih tinggi dari harga taksiran untuk mendapatkan Tjiomas, yang membuatnya merasa ditipu. Ronald Frisart menulis De Sturler mengeluarkan hipotek yang besar dengan harapan bisa membayarnya lewat bagian keuntungan pabrik gula Besito dan hasil Land Tjiomas.Tjiomas saat itu bukan tanah pertanian sepi penduduk. Tahun 1848, Tjiomas berpenduduk 9.893, meningkat jadi 10.090 tahun 1856 atau saat Riesz mengelola. Awal Januari 1867, jumlah penduduk menjadi 16.272. Tidak ada penjelasan apakah peningkatan ini disebabkan kelahiran atau perpindahan penduduk dari tanah partikelir lain. Lebih mengerikan. angka resmi penduduk Tjiomas tahun 1867adalah 17.137.Di tangan De Sturler, landhuis menambah keindahan Land Tjiomas. Namun setelah itu segalanya berubah. Tahun 1868, De Sturler memperbarui kontrak dengan 15 ribu penduduk Tjiomas. Pertama, 20 persen hasil panen padi menjadi milik tanah tanah. Setiap petani harus menanam dan mengurus 250 semak kopi di lahan yang dikelola. Seluruh hasil panen kopi harus diserahkan dan dengan harga yang ditetapkan tuan tanah. Ada kerja wajib di perkebunan kopi yang dikelola langsung tuan tanah di kawasan pegunungan selama lima pekan berturut-turut. Saat panen, tidak boleh ada satu penduduk pun berada di rumah. Artinya, anak-anak juga harus terlibat dalam panen kopi.Beberapa hari setelah kontark Labaar, demikian kontrak baru itu disebut, masyarakat berbondong-bondong mengadu ke Demang Buitenzorg. Nggak digubris. Mengadu ke bupati, juga nggak digubris. Satu perwakilan masyarakat yang menjadi orator ditahan, diajukan ke Landraad dengan tuduhan bertindak tak patas. Landhuis Tjiomas kerap didatangai masyarakat yang mengajukan protes dan menyatakan tidak akan mematuhi kontrak yang dibuat.Pemerintah Hindia-Belanda turun tangan, membujuk petani Tjiomas untuk mengubah pandangan mereka. Upaya itu gagal. Akibatnya, penanaman kopi dihentikan. Sebuah komite dibentuk untuk terus-menerus membujuk petani, dan itu berlangsung bertahun-tahun. Selama masa itu, menurut koran-koran Hindia Belanda, ada upaya penduduk untuk menyerbu Landhuis Tjiomas dan menghabisi keluarga tuan tanah, administratur, tjamat, kepala adat, dan antek-antek tuan tanah.Puncaknya terjadi tahun 1886. Diawali upaya pembunuan yang gagal, dan sang pembunuh tewas. Berikutnya empat orang ditebas klewang. Terakhir terjadi penyerbuan besar-besaran ke Landhuis Tjiomas, dan menewaskan 33 orang, dan melukai 54 lainnya. Peristiwa itu terdengar sampai ke Belanda, yang menyebabkan Tweede Kamer menggelar sidang dan mempertanyakan bagaimana Pemerintahan Dalam Negeri Kolonial, pemilik tanah, dan administrator, menangani tanah-tanah partikelir.Peristiwa itu menjadi bahan kajian sejarawan Indonesia dan Belanda sampai saat ini. Landhuis Tjiomas tercatat sebagai rumah pedesaan paling berdarah. Namun, Keluarga De Sturler -- seperti terlihat dalam Regeeerings Almanak voor Nederlandsch Indie 1906 -- masih berkuasa di Tjiomas, menanam kopi, teh, dan rempah-rempah, sampai pergantian abad. Tidak jelas apakah ada peraturan menindas yang diperbaiki. Yang pasti, aksi protes terus berlangsung meski mungkin tidak lagi berdarah.Sampai 1920, seperti terlihat dalam Regeerings Almanak voor Nederlansch Indie, Cultuur Maatschappij Tjiomas masih berkuasa di Tjiomas tapi berganti pengelolaan. Keluarga De Sturler menunjuk GT Taylor, pekebuh asal Inggris, sebagai pengelola. Sembilan tahun kemudian, Regeerings Almanak voor Nederlandsch Intie tidak lagi mencatat Land Tjiomas dalam daftar tanah partikelir. Artinya, Land Tjiomas dinasionalisasi.Sebelum kedatatangan Gubernur Jenderal Van Starkenborgh-Stachouwer, tidak ada lagi pers yang menulis Land dan Landhuis Tjiomas. Meski demikian, keduanya adalah sejarah kelam pengelolaan tanah partikelir era kolonial yang masih terus diperbincangkan sejarawan dan calon sarjana sejarah.

Landhuis Tjiomas: Kisah Kerakusan Tuan Tanah dan Banjir Darah

Berita Terkait

Berita Rekomendasi