JAKARTA, REQnews -&nbsp;Tujuan RUU Omnibus Law dalam membuka lapangan pekerjaan baru sebanyak 7 juta dinilai perlu dikritisi, karena belum jelas diperuntukkan kepada siapa.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani berkata, dalam RUU itu, tak dijelaskan sama sekali kepada siapa 7 juta lapangan pekerjaan itu, apakah WNI ataukah pekerja asing.
"Kalau mencipta 7 juta lapangan kerja, tidak dijelaskan sizenya berapa persen WNI? Jangan-jangan cuma 10 persen, sisanya? Bisa WNA," kata Andi di Jakarta, Sabtu 22 Februari 2020.
Ia menjelaskan, jika menengok RUU Cipta Kerja tentang tenaga kerja asing (TKA), ada perubahan pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di Pasal 42 ayat (1) yang berbunyi setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat.
Padahal, dalam UU sebelumnya berbunyi setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Andi khawatir, hal itu dapat mengakibatkan masuknya TKA dalam jumlah besar di berbagai bidang, dan mematikan kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk berkarya di negara sendiri.
"Dulu tenaga asing hanya boleh level di atas, kemudian level teknologi, sekarang bisa jadi buruh. Kalau tak berkompeten, kita tidak kebagian nanti 7 juta itu," ujarnya.
Andi mengatakan sebaiknya RUU ini tidak menggunakan frasa cipta kerja dan lebih baik menegaskan tentang kemudahan perizinan berinvestasi dan permodalan. Sebab, menurut Andi, isinya akan lebih menguntungkan pengusaha ketimbang pekerja.

Untuk Siapa 7 Juta Lapangan Kerja dalam Omnibus Law? Orang Asing?

Berita Terkait

Berita Rekomendasi