JAKARTA, REQnews - Perkawinan campuran yakni perkawinan yang dilakukan oleh pasangan (2 orang) yang berbeda kewarganegaraan, yaitu perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing yang harus patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku.
Indonesia tidak memiliki larangan untuk melakukan pernikahan antara subyek hukum yang berbeda negara, asalkan perkawinan tersebut sah terpenuhinya ketentuan hukum atau syarat hukum.
Perkawinan antara individu yang berbeda kewarganegaraan atau perkawinan campuran, harus memenuhi beberapa syarat perkawinan yang telah dicantumkan dalam Pasal 2 UU Perkawinan yang berbunyi &nbsp;
&ldquo;Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.&rdquo;
Maka dapat dipahami bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut perspektif Hukum Perdata dari buku ke satu, perkawinan itu sah jika mampu memenuhi ketentuan hukum dan syarat hukum dari KUHPer yakni;
-&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Berlangsungnya perkawinan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku dengan tempat perkawinan tersebut dilangsungkan.
-&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Tidak melanggar syarat perkawinan dimana telah dicantumkan dalam Bab IV Buku I Kitab Undang-Undang Perdata yang dilakukan oleh calon suami-istri.
KUHPer tidak memandang faktor agama sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dimana telah dicantumkan di Pasal 81 KUHPer, sehingga tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinan antar individu.
Syarat sahnya perkawinan dalam KUHPer terbagi menjadi dua macam, yakni syarat materil berupa inti/pokok, dalam melangsungkan perkawinan, yang telah dicantumkan di Pasal 27 sampai 37 KUHPer dan syarat formil berupa formalitas dalam melaksanakan perkawinan, yang mana telah dicantumkan dalam Pasal 50 sampai Pasal 58 KUHPer.
Di dalam syarat formil perkawinan, perkawinan wajib diumumkan&nbsp;dan diajukan kepada pegawai catatan sipil, untuk selanjutnya di register catatan sipil yang akan diselenggarakan pada jangka waktu sepuluh hari.
Jikalau perkawinan campuran tersebut dilakukan di luar negeri atau di luar batas wilayah Indonesia, maka kedua pasangan tersebut wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang di negara yang akan berlangsungnya perkawinannya tersebut, dengan tujuan untuk melakukan pencatatan di lembaga tersebut serta melaporkan ke Perwakilan Republik Indonesia (KBRI) setelah berlangsungnya perkawinan dengan jangka waktu 30 hari dimana telah dicantumkan di dalam Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Adminduk.
Hal ini bertujuan untuk mencatatkan pelaksanaan peristiwa perkawinannya ke dalam akta perkawinan dan mendapatkan surat bukti perkawinan.
Bagi pasangan yang sudah sah melakukan pernikahan campuran, akan berdampak kepada anak yang dimilikinya, seperti kewarganegaraan yang akan dimiliki oleh anak tersebut karena di setiap negara memiliki aturannya masing-masing.
Di Indonesia, anak yang dihasilkan dari pernikahan campuran memiliki ketentuan-ketentuan sendiri seperti asas ius sanguinis atau keturunan pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang berbunyi dimana anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah akan mengikuti kewarganegaraan orang tua lelakinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran yang sah akan memiliki dan mengikuti kewarganegaraan ayahnya yang berasal dari negara lain tapi ada pengecualian dimana negara bapaknya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut, sehingga anak tersebut menjadi stateless atau bisa disebut juga tidak memiliki kewarganegaraan.
&nbsp;
Penulis - Leonardo Sanjaya
&nbsp;
&nbsp;

WNI Menikah dengan WNA? Ini Kedudukan Sang Anak Nantinya

Berita Terkait

Berita Rekomendasi