JAKARTA, REQnews &ndash; Bagi masyarakat yang terkadang melaksanakan perjanjian dengan pihak lain, baik antara individu maupun badan hukum, pasti sudah mengetahui pentingnya kehadiran meterai yang akan dibubuhi dengan tanda tangan oleh para pihak.
Namun, apabila para pihak dalam perjanjian lupa atau sengaja tidak menggunakan meterai, bagaimana status perjanjian tersebut, apakah sah secara hukum dan memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak dalam perjanjian? Simak penjelasannya.
Berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), sudah menyebutkan syarat sahnya perjanjian dengan empat unsur yang bersifat kumulatif, yaitu:
1.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Adanya kesepakatan oleh para pihak yang mengikatkan dirinya. Artinya dalam kesepakatan tidak boleh mengandung unsur kekhilafan, paksaan, dan juga penipuan dari salah satu pihak
2.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Kecakapan dalam membuat suatu perikatan. Kecakapan ialah kedewasaan dan tidak di bawah pengampuan, hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ialah anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
3.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Suatu pokok persoalan tertentu. Pokok persoalan dalam perjanjian dapat berupa kesepakatan untuk melakukan suatu hal atau kesepakatan untuk tidak melakukan suatu hal, sehingga jelas terdapat obyek dari suatu perjanjian.
4.&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Sebab yang halal atau tidak dilarang menurut hukum. Artinya objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau tidak melanggar kepentingan umum serta tidak melanggar norma yang berlaku di masyarakat.
Dalam KUHPerdata sendiri, tidak diatur secara tegas mengenai syarat sahnya perjanjian wajib dibubuhi dengan meterai, karena perjanjian dapat dicapai dan dilaksanakan dengan tertulis atau verbal. Sehingga, secara hukum tetap memiliki kekuatan yang mengikat bagi para pihak serta menjadi suatu undang-undang.
Meterai sendiri ialah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen. Kendati demikian, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, menyebutkan bahwa Dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata dan terhadap dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Sehingga, walaupun tidak dibubuhi meterai, suatu perjanjian tetap sah dan memiliki kekuatan hukum bagi para pihak dalam perjanjian.
&nbsp;
Penulis: Hans Gilbert Ericsson

Bikin Perjanjian Tanpa Meterai? Ini Akibat Hukumnya

Berita Terkait

Berita Rekomendasi