JAKARTA, REQnews - Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta turun tangan untuk mengusut adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan hingga dugaan suap dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sejumlah perusahaan di Raja Ampat, Papua Barat Daya.&nbsp; Sebelumnya, terdapat lima perusahaan yang disebut memiliki izin untuk mengelola pertambangan di Raja Ampat. Dua perusahaan memperoleh izin dari Pemerintah Pusat yaitu PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013.&nbsp;&nbsp; Sementara itu, tiga perusahaan lainnya memperoleh izin dari Pemerintah Daerah (Bupati Raja Ampat) yaitu ada PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013, dan PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025.&nbsp; Namun, aktivitas pertambangan di Raja Ampat dinilai telah melanggar dua aturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).&nbsp;&nbsp; Pakar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan (UPH) Prof. Jamin Ginting menilai bahwa penerbitan IUP perusahaan tambang tersebut perlu dipertanyakan. Karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah menegaskan larangan aktivitas tambang di pulau kecil.&nbsp;&nbsp; "Iya kalau pemberian izin itu berdasarkan dokumen yang tidak benar pidana dokumen palsu, atau pemberian ijin itu ada indikasi suap, maka tipikor atau penambangan tersebut tidak sesuai dengan ijin yang diberikan illegal mining, maka patut dilaporkan adanya indikasi tersebut," kata Jamin Ginting kepada REQnews.com pada Senin 9 Juni 2025.&nbsp; Prof Jamin Ginting menilai jika ada aktivitas pertambangan yang tidak sesuai dengan aturan maka masuk katagori tambang illegal.&nbsp; "Kecuali ada dispensasi, itu pun ada keadaan tertentu, sehingga diberikan dispensasi. Penolakan masyarakat harus direspon, karena merekalah yang nantinya terimbas dampak lingkungannya," tambahnya.&nbsp; Menurutnya, jika ada bukti permulaan yang cukup, maka masyarakat bisa melaporkan adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan hingga indikasi dugaan suap dalam penerbitan IUP terhadap sejumlah perusahaan tambang, ke Kejaksaan.&nbsp; "Kalau ada dugaan bukti awal yang cukup bisa, atau ada laporan pengaduan masyarakat. Illegal mining juga kewenangan Kejaksaan," ujarnya.&nbsp; Sementara itu, aktivis lingkungan yang tergabung dalam Jaringan Tambang (JATAM) menyebut bahwa pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, bukan peristiwa baru.&nbsp; Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar mengatakan bahwa sejak 2017, PT Gag Nikel mendapatkan izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga 2047 dengan status Kontrak Karya. Padahal, luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, seluas 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung.&nbsp; "Artinya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih luas dari luas seluruh daratan pulau. Dengan kata lain, PT Gag Nikel mencaplok seluruh luas daratan dan perairan Pulau Gag," kata Melky.&nbsp; Dengan luas hanya 6.500 hektare, kata dia, Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Menurut undang-undang tersebut, pulau kecil tidak boleh ditambang.&nbsp; Kemudian, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang amar putusannya menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana saat mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil, kian meneguhkan prinsip pulau kecil haram untuk ditambang.&nbsp; Sementara itu, ia mengatakan bahwa secara umum, Kepulauan Raja Ampat yang kerap disanjung-sanjung oleh pemerintah sebagai destinasi pariwisata unggulan Indonesia, tengah menanti perluasan kerusakan ekologi akibat aktivitas pertambangan di lima konsesi.&nbsp; Melky mengatakan bahwa kelima konsesi tersebut dikelola oleh perusahaan yang berbeda, tetapi komoditasnya sama nikel, yang seluruhnya serupa bom waktu bagi keelokan bentang alam Raja Ampat.&nbsp; "Padahal, justru karena keelokan dan keberlanjutan layanan fungsi alamnya itulah, Raja Ampat menjadi destinasi wisata yang mendunia," katanya.&nbsp; Karena itu, pihaknya pun kemudian secara terbuka menantang pemerintah segera memenuhi tuntutan lima tuntutan yang diajukan oleh JATAM.&nbsp; "Kami tidak menginginkan pemerintah yang hanya melakukan klarifikasi dan berpidato di podium, melakukan penyegelan dan moratorium palsu," katanya.&nbsp; "Kami menantang pemerintah untuk melakukan, pertama mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk Undang-Undang Mineral dan Batu bara dan aturan turunannya," kata dia.&nbsp; Kedua, pemerintah diminta menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk pulau-pulau kecil, ketiga menghapus semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.&nbsp; "Keempat, menghentikan, mengevaluasi, mengaudit dan serta mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah terlanjur dieksploitasi dan kelima berhenti menerbitkan izin tambang baru di pulau kecil Indonesia," ujarnya. &nbsp;

Kejagung Diminta Turun Tangan Usut Kasus Penerbitan IUP Perusahaan di Raja Ampat

Berita Terkait

Berita Rekomendasi