JAKARTA, REQnews - Kesalahan komunikasi publik oleh pejabat publik seperti Presiden, Menteri dan Anggota DPR RI terbukti berulang kali memicu gejolak sosial di Indonesia. Dari pernyataan pejabat yang dianggap meremehkan masyarakat hingga diksi yang salah tafsir, dampaknya dapat memunculkan protes besar-besaran, turunnya kepercayaan publik, bahkan konflik horizontal.&nbsp;Sebab kesalahan diksi dan minim pemahaman audiens, pernyataan bisa memicu chaos atau aksi protes masyarakat yang berujung tindakan anarkis seperti yang terjadi sekarang di sejumlah kota di Indonesia.&nbsp; Salah satunya Sahroni yang menjadi salah satu anggota DPR yang disorot publik akibat pernyataannya beberapa waktu belakangan. Sahroni menuturkan bahwa desakan untuk membubarkan DPR adalah sikap yang keliru.&nbsp; Ia bahkan menyebut pandangan ini sebagai mental orang tolol. Sahroni mengingatkan bahwa boleh saja mengkritik DPR, mencacai maki dan komplain. "Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia. Catat nih, orang yang cuma bilang bubarin DPR itu adalah orang tolol sedunia. Kenapa? Kita nih memang orang semua pintar semua? Enggak bodoh semua kita," ujar Sahroni saat melakukan kunjungan kerja di Polda Sumut.&nbsp; Di era digital, setiap pernyataan pemimpin dengan cepat menyebar luas melalui media massa dan media sosial. Data dari We Are Social 2024 mencatat, 77% penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial, dengan rata-rata penggunaan hampir 3 jam per hari. Artinya, setiap kata yang diucapkan pemimpin berpotensi viral dan dianalisis publik secara real time.&nbsp; Menurut Retno Kusumastuti, pakar komunikasi publik dari REQComm, kondisi ini menuntut pemimpin untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan.&nbsp; “Kata-kata bisa menjadi perekat, tetapi juga bisa menjadi pemicu konflik. Pemimpin harus memahami emosi masyarakat, latar belakang budaya, serta nilai-nilai yang hidup di tengah komunitas. Jika hal ini diabaikan, sekecil apa pun kesalahan diksi dapat menimbulkan dampak besar,” ujarnya di Jakarta, Sabtu 30 Agustus 2025.&nbsp; REQComm pun menyampaikan bahwa studi LIPI tahun 2022 menunjukkan, 65% konflik sosial di Indonesia dipicu oleh miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Hal ini menegaskan pentingnya pemimpin memahami aspek psikologis dan sosiologis audiens sebelum berbicara di ruang publik.&nbsp; “Masyarakat yang sedang mengalami krisis ekonomi atau sosial lebih sensitif terhadap bahasa pemimpin. Diksi yang dianggap meremehkan bisa langsung memicu resistensi dan protes,” katanya.&nbsp; Selain pemahaman audiens, penggunaan diksi juga krusial. Kata-kata yang dipilih pemimpin dapat membentuk citra, menumbuhkan kepercayaan, atau sebaliknya merusak reputasi. Contoh nyata terjadi pada 2019, ketika pernyataan pejabat terkait kebakaran hutan dianggap meremehkan dampak kesehatan masyarakat. Ucapan tersebut segera memicu gelombang kritik di media sosial, diperparah dengan aksi protes di beberapa daerah.&nbsp; “Publik tidak hanya mendengar isi pesan, tetapi juga menafsirkan maksud di balik kata. Kesalahan diksi bisa dipahami sebagai tidak empatik atau provokatif,” jelasnya.&nbsp; REQComm menekankan, komunikasi publik tidak boleh dipahami sebatas menyampaikan pesan. Pemimpin dituntut mampu mendengar, memahami aspirasi masyarakat, lalu merespons dengan bahasa yang menenangkan. Hal ini sejalan dengan hasil survei Indikator Politik Indonesia (2023), yang menemukan bahwa 72% responden menilai komunikasi pejabat pemerintah cenderung kaku dan kurang empatik.&nbsp; Bahkan sejarah mencatat banyak konflik sosial berawal dari miskomunikasi. Namun, komunikasi publik yang dilakukan dengan empati, sensitivitas, dan strategi yang matang mampu mencegah chaos serta memperkuat kepercayaan masyarakat.&nbsp; Penggunaan kata-kata yang tepat bukan hanya soal retorika, melainkan juga menyangkut citra dan kepercayaan publik. Kesalahan sekecil apa pun dapat ditafsirkan sebagai tanda ketidakpedulian, bahkan provokasi.&nbsp; “ Banyak konflik sosial di Indonesia berawal dari miskomunikasi, baik disengaja maupun tidak. Dalam situasi sosial-ekonomi yang penuh tekanan seperti saat ini, komunikasi publik menjadi ujian serius bagi pemimpin. Komunikasi publik adalah seni membangun hubungan. Pemimpin harus memperbaiki cara berkomunikasi, memahami audiens, dan memilih diksi dengan bijak. Dengan begitu, komunikasi dapat menjadi jembatan menuju solusi, bukan pemicu masalah,” tutup Retno.

Para Pemimpin Indonesia, Perbaiki Cara Komunikasi Anda!

Berita Terkait

Berita Rekomendasi