JAKARTA, REQnews - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap pelaku anak dalam peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta, Jakarta Utara mengakses komunitas penyebaran paham radikal secara daring dengan nama grup True Crime Community (TCC).&nbsp; Hal itu dikatakan oleh Kepala BNPT Komjen Eddy Hartono saat menyampaikan terkait dengan tren pola rekruitmen jaringan terorisme secara online yang saat ini mengalami peningkatan.&nbsp; Ia menyebut bahwa dalam kajian psikologis terdapat istilah 'Memetic Radicalization' atau 'Memetic Violence' yaitu dengan meniru ide atau perilaku yang ada di grup tersebut.&nbsp; "Contohnya, di kasus SMA 72, pelaku diketahui Densus mengakses grupnya, namanya TCC. True Crime Community. Nah itu tadi. Jadi dia bisa meniru ide atau perilaku apa yang terjadi sehingga dia meniru supaya bisa dibilang hebat, supaya ada kebanggaan,” kata Eddy dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan pada Selasa 18 November 2025.&nbsp; Ia mengatakan BNPT menggandeng kementerian/lembaga, hingga ahli psikologi dilibatkan untuk memetakan kondisi mental anak yang terpapar konten radikal.&nbsp; “Itulah yang kami sekarang lakukan dengan Kementerian PPA, KPAI, Kemensos, melibatkan ahli-ahli psikologis untuk memetakan,” kata Eddy.&nbsp; “Sehingga ketika diketahui secara psikologis apa yang terjadi, baru kita melakukan rehabilitasi,” ujarnya.&nbsp; Sebelumnya, Densus 88 Antiteror Polri mengungkapkan terdapat 110 anak berusia 10-18 tahun dari 23 provinsi di Indonesia yang diduga telah direkrut oleh jaringan terorisme.&nbsp; Dalam kasus ini, polisi telah menangkap dua tersangka dewasa yang berperan sebagai perekrut serta pengendali komunikasi kelompok di Sumatera Barat dan Jawa Tengah.&nbsp; Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan bahwa pola perekrutan yang dilakukan oleh para pelaku diduga melalui media sosial (medsos).&nbsp; Ia menyebut bahwa kelompok ini juga diduga mengelola grup medsos tertutup yang menjadi ruang rekrutmen dan komunikasi internal.&nbsp; Modus para perekrut dilakukan berawal dari propaganda yang disebarkan melalui Facebook, Instagram, dan game online. Hingga akhirnya ditargetkan anak-anak yang berpotensi bisa dihubungi secara pribadi.&nbsp; "Kemudian setelahnya, mereka yang dianggap target potensial akan dihubungi secara pribadi atau japri melalui platform yang lebih tertutup seperti WhatsApp atau Telegram," kata Trunoyudo.&nbsp; Bahkan, materi propaganda dikemas menarik melalui video pendek, animasi, meme, hingga musik yang dirancang untuk membangun kedekatan emosional dan memicu ketertarikan ideologis.&nbsp; "Maka dari hasil asesmen kerentanan anak dipengaruhi oleh sejumlah faktor sosial. Seperti apa diantaranya adalah bullying dalam status sosial broken home dalam keluarga. Kemudian kurang perhatian keluarga, pencarian identitas jati diri, marginalisasi sosial, serta minimnya kemampuan literasi digital dan pemahaman agama," ujarnya.&nbsp; Trunoyudo mengatakan bahwa salah satu kasus menonjol adalah peristiwa kejadian yang ada di SMA Negeri 72 Jakarta Utara pada 7 November 2005 yang lalu. &nbsp;

BNPT Ungkap Pelaku Peledakan di SMA 72 Jakarta Akses Grup Paham Radikal TCC

Berita Terkait

Berita Rekomendasi