JAKARTA, REQNews &nbsp;— Di tengah keluhan publik soal kenaikan <a href="http://www.reqnews.com/read/news/21816/waduh-istri-wagub-sumatera-barat-dituding-palsukan-dokumen-pajak-pbb">Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) </a>dan beban pajak yang dianggap kian mencekik, Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan sebuah fatwa yang langsung memantik perhatian: Fatwa Pajak Berkeadilan. Isinya menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni masyarakat tidak layak dikenai pajak berulang.<a href="http://www.reqnews.com/read/news/88416/usai-fatwa-mui-polri-pun-resmi-larang-penggunaan-sound-horeg">Fatwa MUI</a> ini dibacakan oleh Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh, yang menyebut regulasi perpajakan saat ini telah menimbulkan persoalan sosial karena membebani kebutuhan dasar masyarakat.“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof Ni’am, seperti dikutip dari laman resmi MUI, Senin, 24 November 2025.Guru Besar Fikih UIN Jakarta itu menekankan bahwa dalam prinsip syariat, pajak hanya boleh dibebankan kepada harta yang bersifat produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier. Sementara kebutuhan pokok—dari sembako hingga rumah tinggal tidak boleh menjadi objek pungutan berulang.“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” ucapnya.Fatwa tersebut juga menyiratkan kritik terhadap kebijakan PBB yang kerap dinaikkan pemerintah daerah demi mengejar pendapatan. Dalam perspektif fikih, terang Prof Ni’am, kemampuan finansial untuk membayar pajak semestinya disejajarkan dengan standar minimal nishab zakat mal, yakni setara 85 gram emas.<h3>Isi Fatwa: Pajak Tak Sesuai Prinsip Keadilan Bisa Haram</h3>Dalam ketentuan hukumnya, MUI menegaskan beberapa prinsip utama:Pajak hanya boleh dipungut ketika kekayaan negara tidak mencukupi pembiayaan publik.Pajak penghasilan harus dibatasi bagi mereka yang benar-benar mampu secara finansial.Pajak atas kebutuhan primer, khususnya sembako dan rumah yang dihuni, dilarang dikenakan berulang (double tax).Pemungutan pajak yang tidak sesuai prinsip keadilan dan amanah dihukumi haram.Zakat yang dibayarkan umat Islam harus menjadi pengurang kewajiban pajak.Secara eksplisit, MUI menyebut pajak yang dibebankan pada bumi dan bangunan non-komersial sebagai bentuk pungutan yang tidak sesuai syariat.<h3>MUI Desak Reformasi Pajak: Dari PBB hingga Pajak Waris</h3>Dalam rekomendasinya, MUI mendorong pemerintah pusat dan daerah melakukan evaluasi besar-besaran terhadap regulasi perpajakan. Pemerintah dan DPR disebut berkewajiban meninjau ulang undang-undang yang dinilai tidak berkeadilan, termasuk pajak progresif yang dianggap memberatkan.Kemendagri dan pemerintah daerah diminta mengoreksi kebijakan PBB, PPN, PPh, pajak waris, hingga pajak kendaraan—yang menurut MUI sering dinaikkan hanya untuk mengejar pendapatan, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.Pemerintah juga didorong membersihkan sektor perpajakan dari mafia pajak dan memastikan pengelolaan pajak transparan, amanah, serta berorientasi pada kemaslahatan umum.Fatwa ini bukan hanya panduan fikih, tetapi juga penanda besarnya ketegangan sosial yang muncul dari beban pajak yang dirasakan masyarakat. MUI berharap arahan ini menjadi pijakan moral sekaligus tekanan politik agar reformasi perpajakan bisa berjalan lebih adil dan manusiawi.

MUI Terbitkan Fatwa Pajak Berkeadilan, Soroti PBB dan Beban Pajak Ganda

Berita Terkait

Berita Rekomendasi