BANTEN, REQNews - Di sebuah sudut sunyi di Kabupaten Pandeglang, Banten, ada seorang guru yang keteguhan hatinya melampaui keterjal jalanan. Namanya Armani, guru satu-satunya yang hampir 17 tahun terakhir menjaga nyala kecil dunia pendidikan di SDN Sorongan II Kelas Jauh, Kampung Batu Payung.Sejak 2008, ia mengabdikan hidupnya untuk anak-anak yang hampir tak pernah tersentuh fasilitas pendidikan memadai. “Sekarang sudah 2025. Hampir 17 tahunan saya di sini,” ujarnya pelan, seakan menghitung ulang perjalanan panjang yang ia tempuh bukan dengan langkah, tetapi dengan keikhlasan.Tak ada kendaraan yang mampu mencapai sekolah. Setiap hari, Armani memulai tugasnya dengan berjalan kaki sejauh 3 kilometer dari titik terakhir ia bisa menitipkan motor. Hutan dan jalan setapak menjadi teman setianya.Di perjalanan itu, ia harus menyeberangi dua sungai. Satu sungai hanya memiliki jembatan bambu sederhana yang dibuat swadaya warga, ringkih, bergoyang, namun tetap ia lalui. Sungai kedua bahkan tidak memiliki jembatan sama sekali. Ketika hujan turun deras dan arus mengamuk, tak ada pilihan selain meliburkan sekolah. Akses terputus total.“Kalau air naik, saya tak bisa ke sekolah. Anak-anak pun tidak bisa ke sini,” katanya.Belum cukup sampai di situ, setibanya di sekolah, ia harus berhadapan dengan kenyataan lain, ruang kelas tunggal yang rusak dan rapuh. 85 persen keramik lantai terlepas, dinding mengelupas, atap bocor, dan sejak berdiri tidak pernah ada toilet.Di ruangan inilah Armani mengajar 23 murid dari kelas 1 hingga kelas 6 sekaligus. Sebuah pemandangan yang mungkin sulit dibayangkan, huruf-huruf dasar bertemu hitungan pecahan, anak kelas 1 belajar mengeja di sudut ruangan sementara kakak kelasnya mengerjakan materi lain di sisi lainnya. Namun ia bertahan.“Motivasi saya hanya satu, kalau tidak ada sekolah jauh ini, anak-anak di sini tidak akan bersekolah,” ucap Armani dengan penuh kecintaan pada anak didiknya..Di balik segala keterbatasan, justru semangat belajar anak-anaklah yang menjadi bahan bakar utama. Mereka datang dengan pakaian seadanya, membawa buku yang hampir habis halamannya, tetapi mata mereka selalu berbinar ketika Armani memulai pelajaran.Mereka berjalan jauh, menyeberangi sungai yang sama, menghadapi hambatan yang sama, namun tidak pernah mengeluh. “Itulah yang membuat saya tetap kuat,” ujarnya.Armani tidak menuntut banyak. Ia hanya berharap Pemerintah Kabupaten Pandeglang memberi perhatian yang belum pernah sampai ke pelosok itu, jembatan yang aman, ruang belajar yang layak, dan fasilitas dasar agar anak-anak bisa menuntut ilmu tanpa rasa takut.“Tolong, agar anak-anak ini bisa belajar dengan nyaman,” pintanya.Tujuh belas tahun bukan waktu yang singkat. Namun di tengah sunyi hutan dan derasnya sungai yang ia sebrangi, Armani membuktikan bahwa pengabdian seorang guru bisa menjadi cahaya, sekalipun di tempat yang nyaris tak terlihat oleh dunia.

Menjaga Mimpi, Kisah Keteguhan Guru Armani Mengajar 17 Tahun Seorang Diri di Pelosok Pandeglang

Berita Terkait

Berita Rekomendasi