JAKARTA, REQnews - Setelah demonstrasi besar yang terjadi di akhir Agustus serta momentum 1 tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, akhirnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset terkait Dugaan Tindak Pidana resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2025-2026. Robertus Juan Pratama sebagai mahasiswa Trisakti menanggapi isu ini lantaran menarik untuk dibahas tuntas. “Indonesia membutuhkan sebuah instrumen hukum baru yang mampu menjangkau proses penelusuran dan penyitaan aset yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, tetapi juga mencakup seluruh jenis kejahatan,” ungkapnya.Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang periode 2015 hingga 2023, kerugian negara akibat tindak korupsi mencapai angka sebesar Rp 279,2 Triliun. Namun, pemulihan kerugian yang berhasil dilakukan melalui penerapan pidana tambahan berupa uang pengganti hanya mencapai Rp 37,2 Triliun. Ketimpangan signifikan ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan kerugian negara dari korupsi masih belum berjalan secara optimal. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dianggap sebagai instrumen yang dapat memperkuat efektivitas pemberantasan korupsi serta mempercepat proses pengembalian aset hasil korupsi tersebut.RUU Perampasan Aset dianggap sebagai instrumen yang efektif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia karena memberikan dasar hukum yang memungkinkan negara untuk menyita aset hasil tindak pidana korupsi tanpa perlu menunggu proses hukum pidana tuntas terlebih dahulu. Namun demikian, penting untuk memberikan perhatian agar regulasi ini tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan maupun potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga yang diberi mandat menjalankan aturan tersebut.Telaah Singkat Isi Substansi RUU Perampasan AsetDraft RUU Perampasan Aset Pasal 2 mengatur bahwa negara dapat menyita aset yang berhubungan dengan tindak pidana tanpa harus menunggu adanya putusan pidana yang menyatakan pelaku bersalah. Mekanisme ini dikenal sebagai non-conviction based asset forfeiture (NCB) dan bersifat in rem (proses terhadap benda), berbeda dengan proses pidana konvensional yang bersifat in persona (menyangkut orang). Selanjutnya, poin mendasar pada Pasal 5 ayat (1) menetapkan kategori aset yang dapat dikenai perampasan. Namun, banyak dari kategori itu sebenarnya telah dapat ditangani melalui instrumen hukum lain, baik pidana maupun perdata. Contoh-contohnya antara lain aset hasil kejahatan (meskipun sudah dihibahkan), barang yang dipakai untuk melakukan tindak pidana, dan temuan yang dicurigai berasal dari kejahatan (seperti kayu ilegal atau rekening perjudian daring yang tidak jelas pemiliknya).Lebih jauh, redaksi Pasal 5 ayat (2) huruf a memberi kesan bahwa negara tetap dibebani kewajiban membuktikan keterkaitan antara kekayaan tak wajar tersebut dengan tindak pidana. Dari perspektif hukum materiil dan bukti, hal ini menempatkan unexplained wealth pada posisi yang kurang agresif: ia tidak berfungsi sebagai presumption-opening rule yang memungkinkan pembalikan beban pembuktian secara efektif. Untuk menjadikan institusi ini lebih bermakna dalam penanganan kejahatan ekonomi, norma-norma yang mengatur unexplained wealth sebaiknya memuat (i) aturan pembalikan beban pembuktian dalam batas proporsional dan terukur; (ii) kelonggaran prosedural untuk pemeriksaan aset. ketersediaan alat penyitaan sementara dan akses terhadap data keuangan lintas yurisdiksi; serta (iii) ketentuan pemisahan antara aspek administratif/perdata dan aspek pidana sehingga perampasan tidak selalu bergantung pada syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 7. Perlu dicatat bahwa naskah awal RUU pada 2012 memang pernah memuat formulasi yang lebih luas.RUU Perampasan Aset dalam draftnya menetapkan batas nilai aset yang dapat dirampas, yakni minimal Rp100.000.000 dan harus berasal dari tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya empat tahun (Pasal 6 ayat (1)). Batas ini memiliki sisi positif karena memungkinkan aparat penegak hukum memfokuskan sumber daya pada perkara bernilai besar. Namun, ambang ancaman empat tahun justru mencakup banyak tindak pidana yang tidak tergolong berat, misalnya pencurian tingkat menengah. Mekanisme perampasan yang bersifat exceptional karena membatasi hak tersangka/terdakwa semestinya dikhususkan untuk kejahatan serius seperti korupsi, narkotika, atau tindak pidana pencucian uang.Lebih jauh, Pasal 7 ayat (1) dan (2) mensyaratkan agar perampasan aset hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu: (a) apabila tersangka/terdakwa meninggal dunia, menghilang, atau mengalami gangguan kesehatan permanen; (b) bila terdakwa dinyatakan bebas dari seluruh tuntutan; (c) ketika perkara tidak dapat disidangkan karena identitas pemilik barang temuan tidak diketahui; atau (d) setelah terdakwa dinyatakan bersalah tetapi ditemukan aset terkait tindak pidana yang belum pernah dirampas.Siapakah yang Mengelola Aset?RUU Perampasan Aset mengalihkan tugas pengelolaan barang sitaan dari lembaga yang selama ini menjalankan fungsi tersebut, yaitu Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) di bawah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan kepada wewenang Jaksa Agung (Pasal 17). Secara historis, Rupbasan ini telah membangun infrastruktur penyimpanan, sumber daya manusia, dan prosedur operasional meskipun masih menghadapi kendala. Naskah Akademis terbaru tahun 2022 hanya menyatakan secara singkat alasan pemindahan kewenangan tersebut, yakni bahwa Jaksa Agung bertindak juga sebagai Jaksa Pengacara Negara yang memproses perampasan, padahal dalam naskah akademis sebelumnya &nbsp;di tahun 2012 fungsi pengelolaan sempat ditempatkan pada Kementerian Keuangan.Pengaturan yang menempatkan pengelolaan barang sitaan RUU Perampasan Aset di bawah kewenangan Kejaksaan menimbulkan potensi dualisme institusional: Rupbasan tetap mengelola barang sitaan berdasarkan KUHAP dan aturan pelaksanaannya, sedangkan Kejaksaan akan mengelola barang sitaan yang timbul dari mekanisme perampasan aset. Dualisme ini berisiko menimbulkan fragmentasi fungsi, serta tumpang-tindih kewenangan antar institusi.Harapan dan TuntutanMelalui Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset &nbsp;yang tengah diinisiasi oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), diharapkan mekanisme pemulihan aset hasil tindak pidana dapat berjalan lebih efektif dan terukur. Menurut Robertus Juan Pratama, diperlukan pembentukan lembaga ad hoc guna mengantisipasi potensi persoalan hukum dan administratif yang mungkin muncul dalam pelaksanaan undang-undang ini di kemudian hari. Hal tersebut mendesak mengingat RUU Perampasan Aset memberikan kewenangan penyidikan kepada lima lembaga sekaligus, namun tanpa kejelasan batas yurisdiksi dan koordinasi antar-instansi. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan (overlapping authority) yang dapat menghambat efektivitas implementasi kebijakan.RUU Perampasan Aset juga memperkenalkan konsep unexplained wealth dengan menggunakan pendekatan in rem, yakni prosedur hukum yang berfokus pada objek atau aset, bukan pada subjek pelaku. Pendekatan ini memberikan dasar bagi negara untuk melakukan perampasan terhadap harta yang asal-usulnya tidak dapat dibuktikan secara sah oleh pihak yang bersangkutan, tanpa harus menunggu adanya putusan pidana terlebih dahulu. Dengan demikian, mekanisme ini dapat menjadi langkah preventif yang signifikan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, karena menutup kemungkinan bagi pelaku untuk memanfaatkan atau menikmati hasil kejahatannya.Lebih lanjut, Juan menyatakan pentingnya menjamin prinsip partisipasi publik dalam proses pembahasan RUU Perampasan Aset ini. “Masyarakat harus diberikan ruang yang memadai untuk menyampaikan pandangan, usulan, dan solusi, sehingga prinsip partisipasi tersebut tidak hanya menjadi formalitas semata, tetapi benar-benar diimplementasikan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan” ungkapnya dalam pernyataan tertulis. Oleh karena itu, percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset memang penting, namun harus diiringi dengan perbaikan substansi hukum agar undang-undang yang dihasilkan tidak menimbulkan persoalan baru dalam praktik penegakan hukum di kemudian hari.Penulis: Robertus Juan Pratama (Mahasiswa Fakultas Hukum Trisakti dan Aktivis PMKRI) &nbsp;

Masa Depan RUU Perampasan Aset: Urgensi atau Hanya Formalitas?

Berita Terkait

Berita Rekomendasi