JAKARTA, REQnews -&nbsp;Di Jepang, semua orang tahu tentang Hachiko sebagai sebuah legenda tersendiri, yang menggambarkan kesetiaan sampai mati seekor anjing kepada majikannya.
Nama Hachiko mendunia, menginspirasi banyak orang, menjadi nilai moral besar, membuat terkejut mereka yang mengetahui kisahnya. Kesetiaan&nbsp;anjing ini tergambar begitu jelas dalam sebuah patung yang berdiri tegak menghadap ke timur di pintu keluar Stasiun Shibuya, Tokyo, Jepang.
Bagaimana bisa, seekor hewan yang dianggap hanya mamalia tak berakal, memiliki kesetiaan begitu dalam, yang bahkan nyaris tak dipunyai manusia kepada manusia lainnya? Bagaimana bisa, kisah seekor anjing dijadikan bahan pendidikan moral tentang balas budi dalam pendidikan dasar di Jepang?
Awal Sebuah Kisah
Tanggal 10 November 1923, anjing jantan jenis Akita Inu ini lahir di Odate, Prefektur Akita dengan nama asli Hachi. Setelah kisahnya dikenal luas di Jepang, orang-orang kemudian memberinya julukan Chuken Hachiko atau Hachiko Anjing yang Setia.
Awalnya, Hachi dimiliki oleh keluarga Giichi Saito dari Kota Odate. Kemudian, diadopsi oleh Profesor Hidesaburo Ueno dan dibawa ke Tokyo dengan kereta api, dari sinilah kisah sang anjing melegenda.
Profesor Ueno adalah pengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo. Ia memelihara Hachi pada usia 53 tahun, sementara istrinya Yae berusia 39 tahun. Hachi dipelihara di dalam rumahnya, bersama dua anjing lainnya, yakni S dan John.
Ueno begitu penyayang dengan anjing peliharaannya. Bahkan, ia tak mempermasalahkan bila anjing-anjing itu mengantar dan menjemputnya setiap akan berangkat juga pulang kerja di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Hachi adalah anjing miliknya yang paling sering ikut mengantar ke Stasiun Shibuya. Ketika sore, Hachi juga yang menunggui Profesor Ueno turun dari kereta seusai bertugas di kampus.
Awalnya, Hachi tak begitu dikenal oleh orang-orang sekitar yang sibuk beraktivitas di Stasiun Shibuya. Sampai, suatu peristiwa pada 21 Mei 1925 terjadi, sebuah titik dimulainya legenda Chuke Hachiko.
Kematian Profesor Ueno dan Penantian Hachi
Pada 21 Mei 1925, sore hari itu di Stasiun Shibuya, Hachi tampak terdiam, tenang menanti majikannya turun dari kereta dan menemuinya untuk pulang ke rumah bersama-sama.
Namun, Profesor Ueno tak kunjung muncul, Hachi tetap saja menunggu. Ternyata, pada hari itu, setelah mengikuti rapat di kampus Ueno mendadak meninggal dunia.
Hachi sebagai seekor hewan tak mengerti soal itu. Ia tetap saja menanti Ueno di stasiun, bahkan tidak mau makan selama tiga hari. Profesor Ueno kemudian dimakamkan pada 25 Mei 1925 malam.
Pemakaman itu tak lantas membuat Hachi berhenti menunggu Ueno di stasiun. Bahkan, ia kerap datang menunggu sang majikan bersama John dan S.
Setelah kematian Ueno, Hachi dan anjing lainnya dititipkan berkali-kali kepada keluarga dan tempat yang berbeda selama dua tahun. Bahkan, perlakuan tidak menyenangkan menimpa anjing-anjing malang yang telah kehilangan tuan sejatinya itu.
Musim gugur 1927, Hachi kembali menghirup aroma Stasiun Shibuya, tempat kesetiaannya pada Profesor Ueno terpatri dalam. Ia dititipkan di rumah Kikusaburo Kobayashi, tukang kebun keluarga Ueno.&nbsp;
Rumah Kobayashi terletak di Tomigaya, dekat dengan Stasiun Shibuya. Hachi akhirnya melakukan kebiasaan lamanya, setiap petang datang ke Stasiun Shibuya, untuk menanti kepulangan Profesor Ueno yang sudah tenang di alam baka.
Hachi Menjadi Hachiko
Tujuh tahun setelah kematian Profesor Ueno, Hachi masih setia menunggunya di depan Stasiun Shibuya. Kisah hewan malang ini menarik perhatian Hirokichi Saito dari Asosiasi Pelestarian Anjing Jepang.
Awalnya, Saito begitu prihatin dan marah dengan perlakuan orang-orang di Stasiun Shibuya terhadap Hachi. Ia kemudian menulis sebuah artikel ke Tokyo Asahi Shimbun, lalu dimuat dengan judul Itoshiya Roken Monogatari atau Kisah Anjing Tua yang Tercinta.
Artikel itu meledak-ledak di Jepang. Mereka yang tadinya bersikap kasar, kini begitu lembut terhadap Hachi. Orang-orang berdatangan ke Stasiun Shibuya hanya untuk melihat sang anjing.
Kemudian, sejak saat itu Hachi mendapat cinta begitu besar dari warga Jepang, dan akhiran 'ko' yang artinya 'sayang' ditambahkan di belakang nama Hachi, menjadi Hachiko.
Setahun kemudian, kisah Hachiko ini sampai ke Teru Ando, salah seorang seniman kenalan Teru Ando. Ia berencana membuatkan sebuah patung sebagai lambang kesetiaan Hachiko di depan Stasiun Shibuya.
Ando setiap hari membawa Hachiko ke studio miliknya, untuk difoto sebagai dasar pembuatan patung. Januari 1934, proyek pengumpulan dana pembuatan patung Hachiko dari perunggu dimulai dan digelar di Nihon Seinenkan.
April 1934, patung Hachiko diresmikan begitu megah di depan Stasiun Shibuya, dihadiri 300 orang, termasuk sang anjing yang tentu saja tak mengerti akan patung tersebut.
Ternyata, Ando membuat dua patung selain yang ada di Stasiun Shibuya. Patung lainnya adalah Hachiko yang sedang bertiarap, dan dihadiahkan kepada Kaisar Jepang Hirohito-Permaisuri Kojun.
<img src="https://photo.reqnews.com/editor/42958ea01336158ce9fde4e63aa39f18.jpg" border="0" />
Setahun setelah peresmian patung itu, tanggal 8 Maret 1935, Hachiko yang berusia 13 tahun ditemukan sudah tinggal tubuh tak bernyawa di jalan dekat Jembatan Inari, Sungai Shibuya. Berdasarkan&nbsp;otopsi&nbsp;diketahui penyebab kematiannya adalah&nbsp;filariasis.
Kematian Hachiko menjadi duka yang menjalar ke seluruh warga Jepang, khususnya yang berada di Tokyo. Ribuan orang hadir dalam upacara perpisahan, termasuk janda mendiang Profesor Ueno, keluarga Kobayashi, bahkan biksu dari Myoyu-ji yang datang untuk membacakan sutra.
Upacara kematian Hachiko digelar layaknya pemakaman pahlawan. Tubuh tak bernyawa Hachiko kemudian dimakamkan tepat di samping makam Profesor Ueno di Pemakaman Aoyama.
Hachiko sebagai Pesan Moral
Sebelum dimakamkan, bagian luar tubuh Hachiko diopset, dan hingga kini dipamerkan di Museum Nasional Ilmu Pengatahuan, Ueno, Tokyo.
&nbsp;
&nbsp;
Patung Hachiko juga didirikan di kota kelahirannya, yakni Odate. Kisah Hachiko menjadi pelajaran moral besar di Jepang, dan masuk dalam buku On o wasureruna (Balas Budi Jangan Dilupakan), yang menjadi bahan pengajaran untuk anak-anak kelas dua sekolah dasar.
Kisah Hachiko masih terus diceritakan di lingkungan pendidikan Jepang kepada anak-anak, bahkan setelah puluhan tahun kematian sang anjing.
Patung Hachiko Dihancurkan
Berkecamuknya Perang Dunia II tahun 1944, yang banyak melibatkan Jepang juga berdampak pada patung Hachiko di Stasiun Shibuya. Patung itu dileburkan untuk dipakai bahan perunggunya sebagai kebutuhan perang.
Pada Agustus 1948 setelah Perang Dunia II, patung Hachiko dibuat kembali oleh Takeshi Ando, anak laki-laki Teru Ando dan ditempatkan di pintu keluar Stasiun JR Shibuya.
Dalam peringatan ulang tahun Hachiko ke-80 pada 12 Oktober 2003, didirikan sebuah monumen berupa patung Hachiko dan Profesor Ueno di Odate.
Hachiko dalam Budaya Pop
Kisah Hachiko ini dibuatkan film oleh sutradara Seijiro Koyama yang rilis pada Oktober 1987 dengan judul Hachiko Monogatari. Kemudian, jaringan Nippon Television pada 2006 memutar drama spesial tentang Hachiko yang diberi judul Densetsu no Akitaken Hachi (Legenda Hachi si Anjing Kita).&nbsp;
Perfilman Barat juga mengangkat kisah Hachiko dalam sebuah film berjudul 'Hachiko: A Dog Story yang disutradarai Lasse Hallstrom, dan dibintangi Richard Gere juga Joan Allen.
&nbsp;

Legenda Kesetiaan Tanpa Tanding Chuken Hachiko dan Pesan Moral dalam Pendidikan Jepang

Berita Terkait

Berita Rekomendasi