JAKARTA, REQnews - Pembunuhan yang menimpa seorang gadis Dayak berinisial MS (20) oleh seorang pemuda Madura berinisial MM (21) pada Senin 1 Februari 2021 menyisakan polemik.&nbsp;
Kasus pembunuhan tersebut terjadi usai pertengkaran hebat antara MM dan MS. Kejadian bermula saat MS menolak berhubungan badan dengan MM.
Karena MS tidak menuruti permintaan MM, pemuda Madura itupun menusuk leher MS. Akibatnya dara cantik yang dikabarkan tengah hamil tersebut meninggal.&nbsp;
Akibat perbuatannya, MM dijerat Pasal berlapis yakni Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, subsider Pasal 338 dan Pasal 351 ayat 3 dengan ancaman maksimal hukuman mati atau seumur hidup. Meskipun sudah di proses secara hukum, MM tetap harus menerima sanksi adat Suku Dayak.&nbsp;
Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat (Kubar) menggelar sidang adat di Rumah adat Dayak Banuaq, Taman Budaya Sendawar pada Kamis 4 Februari 2021.
Sidang adat tersebut dihadiri oleh para tetua adat Dayak Tunjung Benuaq,&nbsp;para kepala suku, tokoh-tokoh adat serta turut diundang&nbsp;Komandan Kodim 0912/KBR Letkol Infantri Anang Sofyan Effendi, dan Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Kubar AKP Komang Adhi Andhika.
Sidang yang dipimpin oleh Kepala Lembaga Adat Besar Kubar Manaar Dimansyah Gamas serta didampingi 6 orang hakim adat lainnya diawali dengan prosesi ritual adat .
Para tokoh adat&nbsp;menyampaikan bahwa pembunuhan terhadap MS adalah murni tindak pidana kriminal&nbsp;dan tidak mengandung unsur suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Manaar menyampaikan kearifan lokal yang berlaku sejak turun menurun harus dijaga dan dirawat. Memang tidak ada nominal yang cukup untuk membayar sebuah nyawa, namun adat tetaplah adat dan harus dijalankan, karena hidup di daerah yang memiliki adat istiadat.
Dari sidang adat yang digelar,&nbsp;Lembaga Adat Besar Kabupaten Kutai Barat bersepakat menjatuhkan sanksi denda kepada pelaku (MM) sebesar Rp.&nbsp;Rp1.898.000.000. (satu miliar delapan ratus sembilan puluh delapan juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut:
<ol>
<li>Denda Adat berupa Antang (Guci) sebanyak 4.120 buah setara dengan Rp1.648.000.000 atau per-antangnya Rp400.000.</li>
<li>Ditambah biaya prosesi adat kematian suku Dayak Benuaq, Mapui, dan Kenyau Kwangkai sebesar Rp250.000.000.</li>
</ol>
Denda tersebut wajib dibayarkan oleh pelaku dan paguyuban Madura dan diberi jangka waktu selama 6 bulan. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak dibayarkan,&nbsp;maka suku Madura yang ada di Kutai Barat dengan sukarela atau terpaksa harus meninggalkan Bumi Tanaa Purai Ngerimaan.
Adapun menurut Kepala Lembaga Adat Besar Kubar pertimbangan ada beberapa pertimbangan yang mendasari penjatuhan denda tersebut adalah sebagai berikut:
pertama, pelaku telah memperlihatkan&nbsp;keberingasan, arogansi, keberanian, dan kesombongannya. Pelaku juga tidak tidak dapat menguasai diri, tidak dapat menahan diri, dan cenderung berperilaku buruk.
kedua, pelaku secara sengaja dan berencana menghilangkan nyawa korban. Perbuatan pelaku juga dinilai meresahkan dan menciptakan permusuhan antar masyarakat, serta dianggap telah menginjak injak harkat dan martabat. Bukan hanya korban namun seluruh bangsawan dan masyarakat Kutai Barat.
ketiga,&nbsp;keputusan tersebut dibuat dengan tujuan agar perbuatan yang sama tidak terulang di kemudian hari, mengingat di tanah Borneo pernah terjadi peristiwa kelam masa lalu yang menjadi catatan hitam di Negeri ini.
Indonesia merupakan&nbsp;sebuah bangsa heterogen, yang artinya mempunyai keberagaman suku, budaya, ras, agama,&nbsp;serta adat yang berbeda-beda.
Sebagai negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukum, Indonesia mempunyai 3 sistem hukum yang diakui dan berlaku mengikat yakni sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.
Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum sama dengan kedudukan hukum pada umumnya, yang membedakannya adalah hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia di wilayah tertentu dan sifatnya tidak tertulis.
Hukum adat diakui secara konstitusional sebagaimana bunyi&nbsp;Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Penulis: Tia Heriskha

Lengkap, Kronologi Sidang Adat Gadis Dayak yang Dibunuh Pemuda Madura

Berita Terkait

Berita Rekomendasi