JAKARTA, REQnews - Masyarakat semakin peduli dengan persoalan hukum, termasuk juga hukum pidana. Dengan banyaknya kasus yang diliput media dan dibahas oleh berbagai pihak di ranah publik, masyarakat makin banyak tahu tentang berbagai profesi dalam dunia hukum, termasuk fungsi kehadiran jaksa atau pun jaksa penuntut umum.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), penuntut umum sesungguhnya adalah sebuah terminologi yang didefinisikan di dalam Pasal 1 poin 6 huruf b sebagai jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan dan penetapan hakim.
Penuntutan sendiri oleh KUHAP Pasal 1 poin 7 dijelaskan sebagai tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di dalam sidang.
Nah, ternyata di luar regulasi nasional seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), dan lain-lain ternyata ada juga aturan internasional terkait peran Penuntut Umum.
Salah satu aturan internasional paling utama dalam persoalan Penuntut Umum adalah Guidelines on the Role of Prosecutors (Panduan tentang Peran Penuntut Umum) atau GRP.&nbsp;Oleh Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB (UN OHCHR), GRP digolongkan sebagai instrumen universal HAM.
OHCHR memandang GRP sebagai instumen pemenuhan HAM dalam persoalan administrasi peradilan untuk melindungi orang yang diancam penahanan atau pemenjaraan.&nbsp;GRP sendiri diadopsi dari Kongres PBB untuk Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana yang ke-8 di Havana, Kuba pada tahun 1990.
Kala itu, Indonesia turut hadir di dalam kongres itu bersama 126 negara lainnya. Hasil kongres yang berlangsung pada 27 Agustus-7 September 1990 itu disahkan oleh Sidang Umum PBB yang ke-45 pada 14 Desember 1990.
Ketika sudah diadopsi oleh Sidang Umum PBB, Indonesia sebagai negara anggota PBB tentu perlu menghormati.&nbsp;Kongres di Havana ini juga menelurkan beberapa aturan dan prinsip penting lain seperti: Basic Principles for The Treatment of Prisoners, The United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency, The Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, dan lain-lain.
Untuk GRP sendiri, ada beberapa aspek yang terkandung dalam panduan ini, yakni: 1) kualifikasi, seleksi, dan pelatihan, 2) status dan kondisi dalam bekerja, 3) kebebasan berekspresi dan berkumpul, 4) peran dalam persidangan pidana, 5) fungsi diskresi, 6) alternatif dari penuntutan, 7) hubungan dengan institusi atau lembaga pemerintah lain, 8) sidang kedisiplinan, dan 9) ketaatan pada panduan ini.
Meski pendek, GRP secara umum berusaha untuk memastikan dua hal penting. Pertama, terpenuhinya hak asasi manusia orang-orang yang terdampak dalam pekerjaan seorang Penuntut Umum: terdakwa dan korban. Kedua, GRP juga berusaha agar Penuntut Umum dapat melaksanakan pekerjaannya secara independen dan profesional.
Sebagai contoh, hal ini terlihat dalam aspek non diskriminasi. Kata &ldquo;non diskriminasi&rdquo; muncul dua kali, yang pertama dalam persoalan perekrutan dan yang kedua dalam urusan pekerjaan.
Menurut GRP, dalam soal perekrutan, di luar kewarganegaraan, tidak boleh ada pengecualian dan diskriminasi pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, etnis, properti, kelahiran, kemampuan ekonomi, maupun status lainnya. Dalam aturan GRP, hal ini harus dipastikan oleh negara.
GRP juga meminta Penuntut Umum untuk menjalankan fungsinya secara imparsial dan menghindari melakukan diskriminasi secara politik, sosial, agama, ras, budaya, seksual, dan lain-lain.
<a href="https://www.ohchr.org/EN/ProfessionalInterest/Pages/RoleOfProsecutors.aspx">Dokumen GRP</a> sebetulnya sudah sangat baik dalam memberi batasan-batasan HAM bagi Penuntut Umum dalam melaksanakan pekerjaannya. Pasal 16 GRP, misalnya, mengatur bahwa Penuntut Umum harus menolak menggunakan alat bukti yang diketahui didapatkan secara melawan hukum, melanggar HAM, juga melalui penyiksaan.
Justru GRP mengarahkan Penuntut Umum untuk membawa orang-orang yang menggunakan teknik dan taktik yang melanggar hukum tersebut kepada proses hukum. So,&nbsp;Jaksa Penuntut Umum di Indonesia wajib memahami, atau setidaknya familiar dengan panduan PBB ini. Pertanyaannya, sudahkah&nbsp;dipatuhi? (Yohan Misero)

Sudahkah Jaksa di Indonesia Menerapkan Guidelines On The Role of Prosecutors?

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi