JAKARTA, REQnews-&nbsp;Terhitung sudah 13 tahun silam peristiwa pembantaian di Universitas Virgina terjadi. Pelakunya seorang mahasiswa berusia 23 tahun asal Korea Selatan bernama Seung-Hui Cho.
Ia anak yang misterius bahkan dari kecil dianggap tuli dan bisu oleh keluarganya. Begitu tertutupnya Cho dengan orang-orang sekitar termasuk keluarganya sendiri.
Sampai-sampai ibunya Kim Hyang-im menganggap anak laki-lakinya itu menderita tuli dan bisu. Hampir setiap hari ia pergi ke Gereja, berdoa agar anaknya bisa bicara seperti anak yang lain.
Cho lahir di Korea Selatan pada 18 Januari tahun 1984. Saat umurnya beranjak 8 tahun, ia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat untuk memulai bisnis dry-cleaning.
Kepindahannya itu membawa harapan besar bagi Kim agar anaknya bisa tumbuh dan bergaul di sana. Impian yang sejak dulu Kim idam-idamkan itu nyatanya sama saja. Cho tetap menjadi anak yang pendiam bahkan lebih buruk lagi. Sebagai ibu, tidak henti-hentinya terus berdoa demi kesembuhan anaknya.
Kim mempunyai dua anak, laki-laki dan perempuan. Cho terlihat berbeda dengan kakaknya yang selalu menunjukan keceriaan, juga termasuk anak perempuan yang cerdas. Perbedaan mencolok tersebut membuat Kim menaruh perhatian lebih kepada anak laki-lakinya itu.
Cho tumbuh menjadi anak remaja dengan wajah oriental Korea Selatan. Setelah kematiannya di hari pembantaian, banyak media menyebutkan bahwa Cho sering mendapat perlakuan tidak baik dari teman-teman sekolah maupun kawan Gerejanya.
Sifatnya yang sangat pendiam menjadi target bullyng beberapa temannya. Ia pun banyak mengalami tekanan yang mendalam saat masuk Universitas Virginia.
Perasaannya itu diluapkan pada catatan-catatan kecil yang ditemui di asramanya pasca pembantaian terjadi. Seperti inilah bunyi penggalan salah satu catatannya:
&ldquo;&hellip; Aku bisa saja tidak melakukan ini. Aku bisa memilih untuk pergi. Aku bisa melarikan diri. Tapi kali ini aku tidak akan lari lagi. Ini bukan untukku. Tapi untuk anak-anakku (kelak), untuk saudara-saudaraku yang kamu tidak mempedulikannya. &hellip; Kamu memaksa saya ke sudut dan memberi saya satu pilihan. Keputusan ada di tangan kamu. Sekarang kamu akan melihat darah&nbsp; di tangan dan tidak akan pernah hilang,&rdquo; tulis Cho.
Pria asal Korsel itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak melarikan diri setelah pembantaian sadis itu terjadi. Ia tewas bunuh diri di tempat kejadian dengan menembakan peluru ke dirinya sendiri.
Setelah diselidiki, pada 16 April 2007, pukul 06.45 pagi waktu setempat, Cho masuk ruang kamar 4040 di lantai 4 asrama. Ia menembak seorang gadis yang rupanya mahasiswi baru di Universitas Virginia, Emily Hilscher.
Kejadian itu ketahuan oleh asisten residen Ryan Clark, dan langsung membantu Hilscher yang terkapar di lantai. Tanpa pikir panjang Cho langsung menembak Ryan di tempat.
Tidak ada perasaaan bersalah. Ia langsung kembali ke kamar untuk mengganti baju dan berangkat kuliah seperti biasa. Sebelum melancarkan aksinya, ia sempat mengintip beberpa kali di kelas yang menjadi targetnya. Entah siapa yang menjadi target Cho yang sesungguhnya.
Pembantaian membabi buta di Universitas Virginia itu menewaskan 32 orang termasuk profesor yang mengajar sebagai dosen di sana. Peristiwa itu menjadi pemberitaan internasional, dan tercatat sebagai peristiwa penembakan sipil paling berdarah di Amerika Serikat.
Walaupun sudah dilakukan penyelidikan oleh pihak kepolisian mengenai motif pembunuhan yang dilakukan Cho, tapi sampai saat ini motif tersembunyi tersebut masih menjadi misteri.
&nbsp;

Capek Dibully, Seung-Hui Cho Bantai 32 Orang di Universitas Virginia

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi