Lhokseumawe, REQNews.com -- Nemah Shah, pengungsi Rohingya, yakin anak dan istrinya tewas dalam pelarian dari Myanmar. Ia mengadakan ritual kematian. Kemarin, di Lhokseumawe, Aceh, mereka reuni.
Neman, kini tinggal di pengungsian di Malaysia dan bekerja di sektor konstruksi, kehilangan harapan melihat istri dan putrinya saat mendengar kabar kapal yang membawa pengungsi Rohingya tenggelam.
Ia hanya bisa menangis, dan memanjatkan doa untuk keduanya. Beberapa pekan kemudian Nemah, usai pulang kerja, nonton televisi yang sedang menayangkan penyelamatan pengungsi Rohingya oleh nelayan Lhokseumawe dari tengah laut.
"Saya mengamati gambar di televisi dan mengenali istri dan anak saya," kata Nemah.
Nemah mengkonfirmasi apa yang dilihatnya dengan mencari gambar yang sama di situs online. Ada beberapa gambar pengungsi Rohingya, dan dia mengenali anak dan istrinya.
Ia menjadi lelaki paling bahagia saat itu. Nemah, kini berusia 24 tahun, segera mencari cara menghubungi Majuma, istrinya, dan Fatima -- putri semata wayangnya.
Melalui jaringan komunitas Rohingya, Nemah berhasil menghubungi Majuma lewat telepon. Pembicaraan hanya sebentar, tapi lebih dari cukup untuk keduanya larut dalam kebahagiaan tertinggi.
Nemah keluar dari pekerjaannya, dan merencanakan kepergian ke Lhoksemuawe untuk bertemu anak dan istri. Perlu berbulan-bulan untuk mewujudkan hal itu, sampai akhirnya mereka bertemu.
Kini, ketiganya tinggal di rumah darurat bekas sekolah, yang diubah menjadi kamp pengungsi oleh pemeirntah daerah Aceh Utara.
Selama beberapa dekade Muslim Rohingya hidup teraniaya di Myanmar. Mereka menjadi etnis minoritas tak bernegara, karena pemerintah mayoritas Buddha menolak eksistensi Muslim Rohingya.
Nemah melarikan diri dari Myanmar enam tahun lalu. Ia, bersama 100 ribu pengungsi Rohingya lainnya, terdampar di Malaysia.
Dia bekerja di sektor konstruksi dengan gaji 500 dolar AS per bulan. Ia menyisihkan sebagian untuk dikirim ke anak dan istrinya yang tinggal di kamp-kamp mengerikan di Bangladesh, dengan harapan anak dan istrinya menyusul ke Malaysia.
Setelah bertahun tahun menambung Majuma mampu membayar penyelundup manusia untuk mendapatkan ruang di atas kapal yang akan ke Malaysia.
Penyelundup manusia menjanjikan perjalanan sepekan, tapi kanyataannya berbulan-bulan. Majuma dan Fatima, serta ratusan pengungsi lain, terapung-apung di tengah laut dan kelaparan.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan 200 pengungsi tewas di tengah laut akibat kelapara, dehidrasi, penyakit, dan penyiksaan oleh penyelundup.
Majuma dan Fatima pergi Februari 2020, tapi Nemah tak mendengar kabar mereka selama berbulan-bulan. Dia putus asa dan mengadakan upacara pemakaman.
"Saya berjanji dalam hati tak akan menikah lagi, karena tidak bisa melupakan Majuma dan Fatima," kata Nemah.
Kini, Nemah, Majuma, dan Fatima, berharap cemas akan masa depan mereka. Mereka diperlakukan dengan baik oleh penduduk, tapi mereka tahu jika sampai sekian lama mereka akan menjadi beban.
Nemah ingin membawa anak dan istri ke Malaysia, karena di negara itu mereka punya pekerjaan. Tapi itu tidak bisa.
"Bersatu kembali dengan anak dan istri adalah rahmat Allah. Ini mengalahkan segalanya," kata Nemah.

Terpisah Enam Tahun dalam Pelarian dari Myanmar, Keluarga Rohingya Reuni di Aceh

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi