JAKARTA, REQnews - Pertanyaan banyak orang tentang Rawa Buaya yang sering kita dengar adalah; "Emang dulu itu rawa ada buaya-nya?"
Pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Namun, jika melihat sejarah penamaan tanah-tanah partikelir di sekujur Ommelanden -- kawasan luar tembok kota Batavia -- bukan tidak mungkin nama kelurahan di Kecamatan Cengkareng itu banyak buaya.
Rawa adalah ekosistem lahan basah dan habitat berbagai jenis unggas dan binatang melata. Rawa Buaya adalah ekosistem lahan basah Sungai Angke.
Sebagai ekosistem lahan basah, Rawa Buaya akan selalu kekeringan di musim kemarau dan kebanjiran total di musim hujan, terutama ketika sungai di sisinya tak mampu menampung air dari hulu.
UU Pemusnahan Buaya
Rawa Buaya adalah nama tanah partikelir, yang diperkirakan dibuka setelah pembangunan Kali Mokervaart selesai tahun 1689. Landmeeter, atau juru ukur, membuat peta sekujur rawa dan memberi nama.
Seperti kebiasaan orang-orang Belanda, penamaan dilakukan dengan memperhatikan bahasa lokal dan karakteristik menonjol di wilayah itu. Rawa, atau rawah, adalah kata dalam Bahasa Melayu. Buaya kemungkinan hewan dominan yang dilihat landmeeter saat pemetaan dilakukan.
Ekosistem lahan basah pinggir sungai memiliki kehidupan yang khas. Saat banjir, ikan dari sungai akan naik ke rawa, berkembang biak, dan besar. Saat kemarau, dan debit air rawa terus turun, ikan terjebak di lumpur.
Hanya sebagian kecil yang kembali ke sungai, atau membenamkan diri di dalam lumpur untuk menunggu sampai musim penghujan tiba. Ikan-ikan inilah yang melanjutkan siklus hidup rawa-rawa.
Saat ikan dalam jumlah besar terjebak di lumpur pekat, buaya mencari jalan mencapai rawa dan menikmati mangsa tak berdaya. Tidak ada kesaksian tertulis landmeeter tentang semua ini. Terlebih, seperti Cengkareng yang kehilangan pohon Tjangkarang, Rawa Buaya nyaris tidak memiliki jejak buaya pernah bermukim.
Pertanyaannya, sejak kapan Rawa Buaya kehilangan buaya?
Tidak ada catatan tentang hal itu. Yang adalah Staatblad No 84 tahun 1862 tentang pemusnahan harimau dan buaya yang dikeluarkan Departement van Binnenlandsch Bestuur. Pemerintah menyediakan hadiah &fnof;30, atau 30 gulden, kepada siapa saya yang berhasil menangkap harimau belang kuning. Buaya sepanjang tiga meter, atau lebih, dihargai &fnof; 3, atau tiga gulden, penangkap buaya kecil diberi hadiah &fnof; 1, atau satu gulden.
Undang-undang berlaku di hampir seluruh wilayah Hindia-Belanda. Di sekujur Ommelanden, rakyat tak punya kerja menjadi pemburu buaya dan harimau. Buaya di Rawa Buaya, dan di sepanjang Sungai Angke, diperkirakan musnah beberapa tahun setelah undang-undang ini berlaku.
Indikasi lain, jauh sebelum undang-undang itu keluar Rawa Buaya telah dihuni penduduk dari luar. Firma Reijnst en Vinju -- yang menguasai tanah partikelir Tjengkareng, Kali Deres, Kamal, dan Rawa Buaya -- mengubah tanah-tanah itu menjadi sawah, perkembunan kelapa, dan membiarkan tanah kosong unduk budi daya rumput.
Bevolkingstatistiek Van Java 1867 mencatat luas Rawa Buaya 757 bouw, atau 540 hektar, dengan tiga kampung di dalamnya. Total penduduk di tiga kampung 759 jiwa, terdiri dari dua Tionghoa, 754 pribumi, dan suami-istri kulit putih dengan satu anak.
Pribumi adalah buruh pemukim, dua Tionghoa bertindak sebagai administratur dan penagih blasting atau pajak tanah, dan keluarga kulit putih adalah penyewa perwakilan Firma Reinst en Vinju.
Sebelum memasuki abad ke-20, tanah partikelir Rawa Buaya berpindah tangan ke Tan Kang Soey, luitnan der Chinezen Tangerang dan keluarga cabang atas dalam masyarakat Tionghoa. Sebelum pergantian abad, Tan Kang Soey mewariskan Rawa Buaya ke Tan Tiang Po, putranya.
Tan Tiang Po menyatukan seluruh tanah-tanah Keluarga Tan dalam satu perusahaan bernama Landbouw Tan Tiang Po. Terakhir, Tan Tiang Po mewariskan seluruh tanahnya kepada Tan Liok Tiauw Sia, putranya.
Akhir Kisah Rawa Buaya
Tan Liok Tiauw Sia mengembangkan bisnisnya, dengan mengakuisisi tanah-tanah partikelir di sekitarnya. Ia juga mengubah tanah partikelir Batuceper sebagai pusat industri genteng, yang membuatnya semakin kaya.
Perjalanan karier tanah partikelir Rawa Buaya berakhir ketika pemerintah Belanda, secara perlahan dalam waktu hampir 30 tahun, membeli seluruh tanah Tan Liok Tiauw Sia untuk mengakhiri konflik antara landheer dengan petani penggarap.
Kisah Rawa Buaya berakhir di sini, kendati terdapat episode tentang Mat Item, penguasa dunia kejahatan Ommelanden, yang beroperasi di sini di tahun-tahun awal Republik Indonesia. Mat Item tewas di Stasiun Rawa Buaya.

Ketika Rawa Buaya Kehilangan Buaya

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi