JAKARTA, REQnews &ndash; Potensi energi panas bumi di pulau Flores, provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) tentu sangat besar. Terdapat 16 titik panas bumi yang tersebar di Pulau yang dijuluki Nusa Nipa itu di antaramya Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Kombandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo,Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang. 

Tapi siapa yang menyangka kalau kehadirannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) di Daratei Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur malah merugikan dan menyengsarakan masyarakat setempat. 

Persoalan ini dibahas dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa NTT-Jakarta (AMNTT) yang bekerjasama dengan Vivat Internasional Indonesia di Jakarta, Kamis 29 Agustus 2019. Diskusi ini bertemakan, &ldquo;Geothermal Mataloko; Berkah atau Kutuk?&rdquo;. 

<img alt="" src="https://photo.reqnews.com/data/images/diskusi%20pltp%20mataloko.jpg" style="width: 300px; height: 250px;" />

Pastor Paul Rahmat perwakilan dari Vivat Internasional Indonesia mengatakan bahwa proyek ini membuat masyarakat merugi baik secara materil maupun moril. 

Misalnya ada kerusakan bangunan perumahan masyarakat, khususnya atap rumah yang memiliki radius 0-2 kilo meter (km) dari lokasi PLTP. 

&ldquo;Jumlahnya mencapai 1.579 unit rumah. Yang tersebar di 11 desa dan kelurahan yaitu desa Uiubelu, desa Ratogesa, desa Waeia,&nbsp; kelurahan Mataloko, desa Dada Wea, desa Rada Bata, desa Were, desa Malanuza,desa Ekoroka, kelurahan Todabelu dan desa Radamasa,&rdquo; ujar Paul.

Tak hanya itu, kata Paul, berubahnya kondisi lingkungan menimbulkan kecemasan masyarakat terkait kondisi kesehatan seperti penyakit Ispa, gangguan Pernafasan dan penyakit Kulit.

Selain itu, produktivitas pertanian yang menjadi sumber mata pencarian warga masyarakat tercatat turun. &ldquo;Seperti Kopi, Kemiri, Kakao, Cengkeh, Alpukat, Jagung, Fanili dan sayur-sayuran turun karena tercemar gas hidrogen sulfide (H2S),&rdquo; kata dia.

Bahkan Paul mengungkapkan bahwa sejumlah lahan persawahan dan ladang masyarakat juga hilang akibat letupan lumpur panas dan Gas H2S dari proyek PLTP Daratei Mataloko. 

Dari hasil diskusi ini, ada beberapa rekomendasi dan tuntutan yang dihasilkan yaitu sebagai berikut.

Pertama, negara harus bertanggungjawab atas kerusakan sosial, ekonomi, dan lingkungan akibat dari adanya eksploitasi proyek geothermal Mataloko.

Kedua, menuntut kompensasi yang wajar dan adil atas kerusakan yang terjadi, guna memulihkan hak ekosob masyarakat.

Ketiga, menuntut kepada pemerintah, agar proyek geothermal Mataloko ditutup. Hal ini dilakukan agar,tidak terjadi preseden yang lebih buruk kepada penyelenggara Negara.

Keempat, menuntut kepada pemerintah untuk membentuk tim investigasi, yang selanjutnya memberikan evaluasi dan rekomendasi terkait permasalah geothermal Mataloko.

Sesuai data dari Vivat Internasional Indonesia, wilayah Daratei Mataloko sebenarnya sudah mulai dilakukan pengeboran sumur panas bumi pertama pada 26 Maret 1998 silam. Pengoperasian tersebut dilakukan setelah ada Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Jepang untuk jangka waktu lima tahun. 

Kala itu, Indonesia diwakili oleh Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral dan pemerintah Jepang yang diwakili oleh Geological Survey of Japan (GSJ) dan New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO). 

&ldquo;Dalam MoU itu terutama pada artikel IV halaman 3, disebutkan bahwa Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai Cooperation Partner untuk pelaksanaan proyek tersebut,&rdquo; ujar Paul.&nbsp; 

Alih-alih, PLTP ini dibangun untuk mencukupi kebutuhan listrik bagi masyarakat daratan kepulauan Flores. Tak berhenti di situ, di tahun 2000, pengeboran sumur kedua kembali dilakukan. 

Tujuannya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daerah Ngada terutama untuk menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktivitas pertanian, mendatangkan industri baru sehingga daya listrik yang tersisa tidak terbuang. Bahkan khususnya wilayah Mataloko listrik menyala selama 24 jam dan daerah Mataloko dijadikan sebagai obyek wisata. 

&ldquo;Namun, semua berjalan tak sesuai harapan. ternyata sejak pengeboran sumur pertama pada tahun 1998 dan pengeboran sumur kedua pada tahun 2000 sudah tidak dimanfaatkan, dibiarkan mangkrak tanpa kejelasan,&rdquo; kata Pastor Paul.

Belum puas mengacak-acak wilayah Mataloko, pada 16 Juli 2004, kembali dilakukan MoU antara pemerintah Kabupaten Ngada serta PLN untuk pembangunan PLTP Daratei Mataloko. Namun hingga hari ini tetap mangkrak alias tidak termanfaatkan.

Turut hadir dalam diskusi ini, Marsi Edon yang memberikan pemaparan dari sisi hukum. Dan untuk bagian HAM dan Ekologi dibahas oleh Pastor Paul Rahmat. Sementara untuk pembahasan Politik energi terbarukan dan Geothermal diulas oleh Hendro Sangkoyo. Diskusi ini dipandu oleh Risno Pakur, Mahasiswa Pascasarjana Trisakti. (Binsasi-Pakur).

Sisi Kelam Proyek PLTP Mataloko, PLN dan Menteri ESDM Pura-pura Tidur?

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi