JAKARTA, REQnews - Kerangka Ayu Selisa yang ditemukan di Bantul beberapa waktu lalu mengungkapkan gambaran yang lebih besar tentang kekerasan terhadap perempuan.
Ayu ditemukan di dalam septic tank rumah mertuanya. Sejauh ini, dugaan mengarah pada skenario bahwa Ayu Selisa dibunuh oleh sang suami, Edi Susanto, yang November 2019 lalu bunuh diri.
Sang suami meninggalkan surat wasiat yang menyatakan ingin menyusul ibunya dan sang istri. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Edi&nbsp;mengetahui bahwa Ayu Selisa sudah meninggal dunia padahal saat itu Ayu Selisa masih berstatus hilang.
Saat menikah tahun 2008,&nbsp;usia kedua sejoli ini terbilang masih sangat muda. Kala itu, Ayu Selisa 16 tahun dan Edi berusia 19 tahun. Setahun pasca menikah, Ayu Selisa dinyatakan hilang.
Pada ibunya, Ayu mengaku pernah disundut rokok oleh Edi. Hal ini seirama dengan pengakuan saudara kembar Ayu, yakni Ayu Lelisa, yang pernah beberapa kali melihat Ayu Selisa terluka karena kekerasan yang dilakukan oleh Edi.
Kepada REQnews, Naila Rizki, aktivis perempuan yang aktif mendorong disahkannya RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), menyatakan pendapatnya bahwa hal yang menimpa Ayu Selisa ini dapat digolongkan sebagai femisida.
&ldquo;Secara umum femisida bisa diartikan sebagai pembunuhan yang ditujukan terhadap perempuan karena semata-mata dia perempuan atau status perempuan dalam pranata sosial sebagai istri, ibu, atau anak perempuan,&rdquo; ujar Naila.
Sebabnya, pelaku femisida kebanyakan adalah pasangan, mantan pasangan, keluarga, dan lain-lain. &ldquo;Kebanyakan dilakukan oleh laki-laki,&rdquo; katanya.
Naila menerangkan bahwa femisida biasanya ditandai dengan adanya riwayat kekerasan domestik dan seksual. &ldquo;Menurut saya, ada indikasi ini femisida, kalau dilihat dari adanya riwayat KDRT yang dilakukan suami dan dari surat wasiat suaminya yang sepertinya tahu kematian istrinya tapi menyembunyikannya dari keluarga korban. Lokasi penemuan kerangka AS juga ada di rumah suaminya,&rdquo; kata Naila.
Dalam wawancaranya, ia menjelaskan bahwa dalam skala global femisida terjadi karena berbagi alasan baik itu kultural, sosial, dan juga politik. Laporan WHO soal femisida menyebutkan contoh-contoh femisida dari berbagai wilayah dunia, misalnya honor killing di Timur Tengah dan Asia Selatan juga femisida yang berkaitan dengan mahar kawin di India.
Komnas Perempuan bahkan mencatat bahwa sepanjang 2018 ditemukan 173 kasus femisida. Menurut Naila, ada satu perangkat hukum penting yang dapat membantu untuk mengatasi fenomena femisida, yakni regulasi perlindungan terhadap perempuan dari kasus kekerasan seksual.
&ldquo;Biasanya femisida bermula dari kekerasan seksual, makanya kita perlu segera punya RUU PKS."
Naila kemudian mencontohkan bahwa pengakuan RUU PKS pada visum psikiatrikum (visum yang dilakukan oleh dokter spesialis jiwa untuk mengetahui situasi psikis korban) dapat mempermudah pelapor agar terhindar dari kekerasan lanjutan.
&ldquo;Karena saat ini pelaporan kekerasan seksual susah, perempuan terpaksa tetap bertahan hidup dengan pelaku,&rdquo; kata Naila. (Yohan Misero)

Dikubur di Septic Tank, Ayu Selisa Korban Femisida! Apa Itu?

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi