JAKARTA, REQnews -&nbsp;Jaksa Agung ST Burhanuddin bangga menyatakan bahwa selama 2019, setiap bulannya Kejaksaan menuntut mati 10 orang untuk kasus narkotika. Pernyataan ini ia sampaikan di kantor Kejaksaan Agung saat konferensi pers mengenai capaian kinerja Kejaksaan, Senin 30 Desember 2019 di Jakarta.
Menanggapi pernyataan Jaksa Agung tersebut,&nbsp;Ricky Gunawan, Direktur LBHM (Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat), angkat bicara. Menurut dia, dengan meletakkan kuantitas tuntutan pidana mati sebagai salah satu indikator pencapaian adalah hal yang tidak tepat.
"Karena di balik jumlah tuntutan itu ada persoalan lebih mendasar lagi yg mungkin belum terkuak, yaitu apakah peredaran narkotika sudah dengan sendirinya terputus dengan adanya tuntutan mati itu?," kata Ricky di Jakarta, Selasa 31 Desember 2019.
Menurut Ricky, ketika Kejaksaan Agung mendasarkan jumlah tuntutan mati sebagai prestasi, hal ini justru memberi sinyal kepada jaksa-jaksa untuk saling berlomba mengajukan tuntutan mati tanpa melihat betul-betul aspek yang lebih penting. Aspek-aspek ini antara lain ialah keberhasilan mengungkap sindikat yang lebih besar, pemenuhan hak tersangka atau terdakwa, dan lain sebagainya.
&ldquo;Akan lebih ideal apabila Kejaksaan Agung justru bisa membongkar sindikat gelap narkotika. Sebab, mereka yang dituntut mati dan kemudian divonis mati, mayoritas hanyalah kurir kelas teri, yang miskin, yang dimanipulasi jaringan, atau berada dlm tekanan ekonomi, atau mengedarkan narkotika karena keputusasaan,&rdquo; kata Ricky.
Senada,&nbsp;Raynov Gultom, Peneliti Reprieve UK menyatakan, &ldquo;Buat saya mengukur tuntutan pidana mati dengan angka-angka itu tidak relevan untuk dijadikan klaim sebagai kontribusi bagi penegakan hukum.&rdquo;
Kepada REQnews, Raynov menjelaskan, &ldquo;Selain hukuman mati melanggar HAM, hal tersebut, menurut berbagai penelitian, juga tidak punya efektivitas terhadap penurunan angka kejahatan. Jadi mengajukan tuntutan mati justru mendorong semakin banyak pelanggaran HAM dan nihil kontribusi dalam menyelesaikan masalah kriminalitas.&rdquo;
Bagi Raynov, jaksa kerap kali melanggar asas proporsionalitas pemidanaan yang berlaku universal. Hal ini ia dasari pada pengamatannya bahwa Jaksa Penuntut Umum seakan tidak punya standar yang jelas dalam mengajukan hukuman mati. Jaksa sering tidak mempertimbangkan sebesar apa peran yang dilakukan seseorang dalam suatu kejahatan.
&ldquo;Sepanjang itu kasus narkotika dengan barang bukti yang terbilang cukup besar, Jaksa pasti akan menuntut mati,&rdquo; kata Raynov.
&ldquo;Daripada sesumbar soal angka, Jaksa Agung sebaiknya benahi kembali profesionalitas dan kompetensi jajaran Kejaksaan dalam memahami hukum pidana dan pemidanaan,&rdquo; ujarnya lagi. (Yohan Misero)

Klaim Prestasi Tuntut Mati 10 Orang Tiap Bulan, Kejagung Diprotes Pegiat HAM

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi