JAKARTA, REQnews -&nbsp;Metaverse saat ini menjadi salah satu perbincangan hangat, bahkan digandang-gadang menjadi era masa depan baru. Metaverse merupakan langkah revolusioner pada bidang teknologi yang menggabungkan teknologi internet dengan media sosial (medsos) di tengah masyarakat.
Metaverse dapat mengubah cara pengguna terhubung ke dunia maya, yaitu dengan mengusung konsep antara dunia internet dengan virtual tiga dimensi yang bisa dimasuki manusia. Seperti menggunakan virtual reality (VR) dan augmented reality.
Dalam menghadapi era metaverse,&nbsp;perlu disiapkan sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi. Generasi muda wajib memiliki ilmu pengetahuan serta keahlian di bidang teknologi virtual agar bisa menjawab tantangan dan hidup berdampingan dengan zaman yang berkembang cukup pesat ini, terutama dalam bidang hukum.
&nbsp;Praktisi Hukum Muhammad Fandy mengatakan bahwa&nbsp;tantangan penegakan hukum ke depan untuk menyambut adanya metaverse ini, yang harus diperhatikan adalah bagaimana regulasi pengaturan terkait dengan adanya digitalisasi dalam segala aspek kehidupan.
Menurutnya dalam penegakan hukum tak semua bisa dilakukan digitalisasi, namun beberapa hal memang harus tetap dilakukan secara konservatif, tatap muka, pembuktian otentifikasi. Fandy mengatakan hal itu sangatlah penting, karena berkaitan dengan kehidupan seseorang.
"Contoh konkritnya itu di persidangan, memang ada beberapa fase dalam persidangan yang bisa dilakukan secara digital misalnya seperti gugatan, terus eksepsi dan sebagainya. Akan tetapi pemeriksaan saksi misalnya atau pemeriksaan alat bukti itu nampaknya harus tetap dilakukan dengan cara konvensional atau cara-cara yang konservatif," kata Fandy kepada REQnews.com dikutip pada Senin 14 Februari 2022.
"Kenapa demikian, karena kalau misalnya pemerikasaan saksi itu kita bisa tahu gesture dia, penyampaian pendapatnya, apakah dia berbohong atau enggak. Balik lagi karena berkaitan dengan kehidupan seseorang," lanjutnya.
Fandy mengatakan bahwa untuk menghadapi era digitalisasi semua hal dan aspek kehidupan yang memang perlu, akan tetapi juga harus ada batasan-batasan, tidak semuanya harus digitalisasi.
Selanjutnya terkait dengan&nbsp;regulasi untuk pengawasan&nbsp;memasuki taraf hidup baru di dalam era metaverse. "Contoh konkretnya mungkin yang sekarang lagi ramai misalnya NFT atau non-fungible token," kata dia.
Dirinya pun khawatir, jangan sampai NFT atau uang digital ini dijadikan alat untuk suap gaya baru atau TPPU gaya baru. "Jadi ada pejabat yang dengan dalil menjual karyanya, akan tetapi itu jadikan alat buat tindak pidana pencucian uang maupun tindak pidana penyuapan," kata Fandy.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa saat ini sudah banyak instrumen seperti PPATK, OJK dari sisi penyelenggara negara. Kemudian dari sisi bisnisnya ada Bappeti, menurutnya tinggal bagaimana&nbsp;mereka beradaptasi dengan lingkungan baru yang serba digital.&nbsp;
"Bagaimana mereka punya 'taring' untuk melakukan penegakan terhadap aturan. Penegakan hukumnya terus harus konsistensi antara regulasi, pengawasan dan penegakan atau pemberian sanksinya," kata dia.
Terkait dengan regulasi, Fandy menyebut bahwa perlu adanya regulasi khusus untuk mencegah adanya dugaan tidak pidana pencucian uang, tidak pidana Korupsi atau pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan hukum lainnya.
"Bukan cuma regulasi, tapi juga bagaimana penindakan kedepannya. Kan yang terkadang jadi problem itu adalah regulasi sudah cukup memadai akan tetapi penindakannya itu masih kurang. Jadi mungkin untuk segala macam digitalisasi, saya rasa seperti Kominfo terus bidang sektor keuangan misalnya OJK, Bursa, BKPM segala macam itu harus mendorong supaya regulasi dibentuk," ujarnya.
"Regulasinya tematik, misalnya terkait dengan transaksi, pengawasan, aplikasinya, tentang bagaimana akses gitu dan sebagainya," lanjutnya.
Fandy mengatakan bahwa saat ini Indonesia secara keseluruhan belum siap menghadapi era metaverse, karena masih banyak daerah tertinggal yang bahkan belum bisa mengakses internet. "Kalau kita melihat kondisi saat ini berkaca dari kondisi Jakarta memang beberapa sudah siap dengan kemampuan teknologinya, akan tetapi daerah lain perlu dilihat juga," kata dia.
"Daerah yang jauh misalnya di daerah-daerah timur, di daerah-daerah Indonesia yang masih bahkan untuk mengakses teknologi masih sulit. Lebih kepada kesiapan negara kita atau pemerintah untuk menyediakan akses terhadap dunia digital ini," lanjutnya.
Sehingga menurutnya, Indonesia belum siap menghadapi era metaverse, karena masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan disupport oleh pemerintah. "Baik dari sisi regulasi, akses terhadap internet, akses terhadap dunia digital, terus tingkat literasi juga atau tingkat pemahaman terhadap akses digital itu juga harus disupport dan didukung oleh pemerintah," tambahnya.
Namun, Fandy menyebut bahwa dengan beberapa perbaikan yang telah disebutkan olehnya, bukan hal yang sulit bagi Indonesia dalam persiapan menghadapi era metaverse. "Tetapi dengan beberapa hal tadi mungkin saya rasa itu bukan hal yang sulit untuk mempersiapkannya," ujarnya.
Sementara Pengamat Keamanan Siber Alfons Tanujaya mengatakan bahwa era metaverse pada dasarnya sama sengan era media sosial (medsos), di mana kredensial dan aset digital menjadi komoditas yang sangat berharga.
"Jika tidak dijaga dengan baik akan mengakibatkan pengambilalihan akun dan kerugian yang besar jika akun tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan bisa merusak nama baik seseorang," kata Alfons.
Menurutnya karena identitas digital yang menjadi aset utama, maka pemalsuan identitas digital harus diwaspadai. "Sebagai contoh akun Whatsapp sekarang selain berusaha diambil alih, namun jika tidak berhasil mengambil alih maka profile picture akun yang dipalsukan digunakan untuk berpura-pura sebagai akun yang bersangkutan," kata dia.
Selain itu,&nbsp;jangan mudah percaya dengan apapun yang sifatnya digital tanpa melakukan verifikasi. "Hal ini sebenarnya juga termasuk pada pemalsuan melalui telepon di mana banyak yang memalsukan diri sebagai call center untuk mencuri kredensial akun mobile banking," lanjutnya.
"Lalu bagaimana cara mewaspadainya dan pengamanan yang bisa dilakukan? Pengamanan akun disarankan gunakan Call Paman One Time, Call (True Caller), Paman (Password Manager), One Time (One Time Password)," kata Alfons.
Menurutnya siap atau tidak siap, Indonesia harus tetap menghadapi era metaverse, jika terlambat melakukan antisipasi maka akan merugi dan tertinggal. "Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat atas pentingnya aset digital dan pengamanannya," ujarnya.
Lebih lanjut, dirinya juga meminta agar pemerintah menindak dengan tegas semua bentuk eksploitasi aset digital seperti pencurian password, aksi eksploitasi akun mbanking dan kejahatan digital lainnya.
Sementara pihak terkait lainnya dalam penegakan hukum seperti Kepolisian, Kominfo, Kejaksaan dan Kehakiman berkoordinasi memberikan penindakan dan hukuman berat bagi pencurian dan eksploitasi aset digital supaya masyarakat tidak menjadi korban dalam dunia digital.
Kemudian mendesak agar pemerintah segera mengundangkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar penegak hukum memiliki dasar yang kuat dalam melakukan penegakan hukum di dunia digital.

Bagaimana Tantangan Penegakan Hukum di Era Metaverse? Simak Penjelasannya

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi