JAKARTA, REQnews &ndash; Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK ternyata ada sejumlah poin yang saling bertentangan. Salah satunya terkait polemik pelaksanaan operasi tangkap tangan (OTT) dalam pasal 69D revisi UU KPK.

Info saja pasal tersebut menjelaskan,&nbsp;&ldquo;Sebelum dewan pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-undang ini diubah (artinya mengacu kepada UU No. 30 Tahun 2002),&rdquo; 

Namun, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengatakan, meski terdapat jaminan pelaksanaan OTT bagi KPK, namun ada pertentangan di bagian lain.

Misalnya dalam ketentuan pasal 70C UU KPK hasil revisi dengan tegas menyatakan,&quot;Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini (harus seijin dewan pengawas)&rdquo;.

&ldquo;Ketentuan Peralihan kedua pasal UU KPK hasil revisi ini, memperlihatkan adanya pertentangan dan saling menegasikan, karena di satu pihak pasal 69D membolehkan KPK untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah (UU No. 30 Tahun 2002), akan tetapi di pihak lain pada pasal 70C mengharuskan semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK harus berdasarkan UU KPK hasil revisi Tahun 2019,&rdquo; kata dia dalam keterangan resminya, Jumat 18 Oktober 2019.&nbsp;

Petrus pun menilai bahwa dari rumusan pasal 69D UU KPK hasil revisi, membuat keberadaan dewan pengawas KPK seakan-akan menjadi penentu berlakunya UU KPK hasil revisi. 

Hal inilah yang memunculkan pertanyaan, apakah pemberlakuan UU KPK hasil revisi ini hanya sebatas kewenangan KPK yang memerlukan ijin dewan pengawas?

&quot;Ataukah menyangkut seluruh pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK? Inilah yang menjadi sumber polemik di tengah masyarakat menyikapi berlakunya UU KPK hasil revisi, yang kelak akan membawa UU ini berujung kepada Judicial Review di MK,&rdquo; ujar dia.

Maka ia menganjurkan agar rumusan pasal 69D dan pasal 70C harus diperjelas. Sebabnya, mengandung bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum untuk sementara waktu. 

Atau kata Petrus, rumusan pasal 69D dan 70C bisa disatukan dalam satu rumusan pasal sehingga berbunyi sebagai berikut: 

&quot;Segala tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalan UU ini, kecuali tugas dan wewenang KPK yang memerlukan ijin Dewan Pengawas dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah hingga Dewan Pengawas dibentuk&quot;.

Selain itu, dirinya juga melihat keanehan soal keberadaan dewan pengawas merupakan salah satu organ terpenting di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi. 

&ldquo;Sama sekali tidak digambarkan dengan rumusan yang menempatkan dimana kedudukan Dewan Pengawas di antara organ Pimpinan KPK dan organ Pegawai KPK,&rdquo; ujar dia.&nbsp;

Apakah Dewan Pengawas KPK ini berada di dalam struktur yang sejajar dengan pimpinan KPK dan menjadi bagian di dalam struktur organisasi KPK?

Ataukah Badan Pengawas ini memiliki organisasi tersendiri dan berada dalam rumpun kekuasaan legislatif karena berperan mengawasi Pimpinan KPK dan Pegawai KPK? 

Mari kita lihat perjalanan UU ini dalam pelaksanaannya. (Binsasi)

Menguak Anomali dalam Rumusan UU KPK Hasil Revisi 2019

Komentar

Berita Terkait

Berita Rekomendasi